Peristiwa Cimareme, Bukti Perlawanan Rakyat Garut

0
177

ETNOGRAFI.id: Riwayat yang terkubur kini kembali muncul dipermukaan. Dengan kisah ini, memiliki Garut adalah kebanggan bagi masyarakatnya.

Kisah ini diawali pada abad ke 19 di Indonesia dikenal sebagai abad ekspansi Belanda, karena Belanda melakukan ekspansi geografis yang substantial di Indonesia.

Belanda memiliki motif penting yaitu memperluas wilayahnya di Indonesia selain keuntungan keuangan juga untuk mencegah negara-negara Eropa lain mengambil bagian-bagian dari wilayah lainnya di Indonesia.

Belanda melihat pulau Jawa sebagai keuntungan yang besar untuk negaranya. Ekspansi Belanda di Jawa Barat meluas hingga ke bagian selatan wilayah Jawa Barat yaitu Garut.

Garut merupakan kota yang berada diantara gunung-gunung yang menjulang, yaitu gunung Guntur, Cikuray, dan Gunung Papandayan dan memiliki iklim tropis.

Melihat kondisi seperti itu dapat disimpulkan bahwa tanah di wilayah tersebut merupakan tanah yang subur dengan komoditi pertanian dan perkebunan dan ini sesuai dengan tujuan ekspansi Belanda.

Kampung Cimareme Desa Sukasari kecamatan Banyuaresmi kabupaten Garut, memiliki daerah yang subur sebagai daerah ekspansi Belanda.

Daerah yang dikelilingi bukit-bukit yang terletak diantara Rawa Gabus sebuah danau yang merupakan tenpat resapan air dan pesawahan yang terhampar di sebelah timur dan utara dibelah oleh kali Cibudug, dengan kondisi alam yang seperti itu sudah dipastikan daerah tersebut subur dan tidak kekurangan air.

Masyarakat memiliki mata pencaharian mayoritas sebagai petani, sebagian besar pengembangan desa sangat dipengaruhi oleh sektor tersebut komoditi pertaniannya seperti, padi, jagung, ubi, tembakau dan kacang-kacangan.

Masuknya kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-19 menyebabkan perubahan dan kegoncangan dalam kehidupan rakyat. Pada bidang pemerintahan, kekuasaan dan wibawa para penguasa pribumi semakin merosot.

Dengan masuknya ekonomi uang, beban rakyat semakin berat, karena memudahkan pelaksanaan pemungutan pajak, dan lahirnya buruh upah. Sistem penyewaan tanah dan praktek kerja paksa ikut memperberat kehidupan rakyat di pedesaan.

Pada tahun-tahun akhir perang Dunia I terjadi kelaparan dan kemiskinan di mana-mana menyebabkan terjadinya berbagai tindakan perlawanan dari rakyat Indonesia.

Sejak saat itu kehidupan ekonomi-sosial masyarakat Garutpun ikut mengalami kegoncangan. Beras yang biasanya diimpor hampir tidak dapat masuk karena selama peperangan berlangsung banyak kapal-kapal dagang yang dipakai dalam peperangan sehingga distribusi beras mengalami kekurangan alat angkut.

Dalam keadaan normal, kesulitan penduduk akan bahan makanan dapat diatasi dengan bantuan atau pinjaman dari lumbung-lumbung desa. Tetapi pada tahun 1917 sudah banyak lumbung desa yang ditutup, pemerintah Belanda dalam mengatasi kekurangan bahan makanan mengeluarkan peraturan penyerahan wajib jual padi kepada pemerintah, peraturan wajib jual padi dirasakan berat oleh masyarakat pedesaan Garut.

Pemerintah Hindia Belanda pada Tahun 1918 segera mengeluarkan peraturan wajib jual padi, para petani dipaksa menjual padinya kepada pemerintah sebanyak empat pikul per bahu dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah.

Motivasi dari tindakan pemerintah Belanda itu, bukannya murni untuk menangulangi kelaparan rakyat demi kesejahteraannya, tetapi lebih disebabkan karena rasa ketakutan sebab masyarakat yang dihinggapi keparan akan menimbulkan pemberontakan.

Baca Juga: Sang Kiayi dari Tanah Garut

Haji Hasan Arif mengajukan keberatan terhadap wajib jual padi dan berpesan kepada lurah Sukasari supaya menyampaikannya kepada Camat Banyuresmi, Haji Hasan Arif berpendapat penyetoran padi sebanyak itu akan menyebabkan rakyat kesulitan penyediaan pangannya.

Dengan peraturan itu, Haji Hasan Arif diwajibkan menyetor 40 pikul (= 2500 kg), dari sawahnya yang seluas 10 bahu. Tiap bahu sama dengan 500 bata, sedangkan hasil panen tiap bata adalah 5 kg padi. Jadi tiap panen (8 bulan sekali), Haji Hasan Arif dapat mengumpulkan padi 5000 (bata) x 5 kg = 25.00 kg.

Menanggapi kejadian seperti itu Haji Hasan Arif menyadari, bahwa keadaan sudah cukup gawat. Kajadian-kejadian besar akan terjadi, baimk pada diri Haji Hasan Arif pribadi, kerabat, sahabat-sahabat, murid-murid, maupun masyarakat Cimareme.

Kemudian Haji Hasan Arif masih berusaha mencari jalan penyelesaian dengan sebaik-baiknya, seberapa jauh diusahakan melalui jalan damai. Beliau berkirim surat kepada Bupati Garut, R.A.A Suria Kartalegawa, berisi permohonan agar pemerintah mempertimbangkan usulan masyarakat Cimareme, yaitu menurunkan setoran padi menjadi satu pikul per bahu.

Sementara menunggu jawaban surat dari Bupati, Haji Hasan Arif mengatur persiapan dan ngundang sahabat-sahabat Haji Hasan Arif yang ada di luar wilayah Cimareme untuk mendapatkan bantuan agar masalah peraturan padi ini bisa selesai.

Sambutan dari sahabat Haji Hasan Arif ini cukup memuaskan, seperti dibuktikan dengan datangnya bantuan tenaga pejuang dari Cirebon, Manonjaya, Ciamis, karawang, Banten, Ciawi, Tasikmalaya Limbangan, Nangkapait, Bayongbong, Godog dan Rancabango.

Sementara itu surat yang dikirimkan oleh Haji Hasan Arif kepada Bupati garut tidak mendapatkan balahan, malah dari pihak Bupati Garut mengutus Wedana Leles untuk menyampaikan pesan kepada Haji Hasan Arif untuk permintaannya ditolak dan mengharuskan tunduk kepada peraturan pemerintah, serentak kabar tersebut menjadikan situasi yang tegang untuk Haji hasan Arif dan masyarakat Cimareme.

Puncak Peristiwa Cimareme

Peristiwa Cimareme melutus berlangsung beberapa lama setelah perjalnan-panjang negosiasi antara Haji Hasan Arif dan pemerintah Belanda, pendirian Haji Hasan Arif tetap kukuh menentang terhadap kebijakan Pemerintah belanda, yang dipandang oleh Haji Hasan Arif kebijakan tersebut sangat memberatkan masyarakat lemah.

Haji Hasan Arif sendiri dalam urusan storan pada tidak menjadi masalah, tetapi Haji Hasan Arif lebih sempati kepada rakyat lemah untuk storan padi tersebut.

Pemerintah melihat usaha pemberontakan Haji hasan Arif tersebut adalah suatu ancaman bagi pemerintah Belanda dan setelah perjalanan negosiasi tidak ada ujung selesainya pemerintah Belanda memutuskan untuk menangkap Haji Hasan Arif baik hidup dan matinya, usaha belanda tersebut dalam penangkapan Haji Hasan Arif mengerahkan pasukan Marsose.

Marsose itu berasal dari Bandung dan pada tanggal 11 Agustus 1918 sudah sampai bersam Residen sendiri.

Dengan kondisi yang memberatkan rakyat ini, Haji Hasan Arif selaku tokoh penggerak berupaya melakukan penolakan terhadap peraturan tersebut, hingga meletusnya peristiwa Cimareme Senin 12 Agustus 1918 dan menewaskan Haji hasan Arif, maka gugurlah Haji Hasan Arif ditembak oleh pasukan pemerintah Belanda.

Sesudah Haji Hasan Arif gugur pasukan Marsose menghentikan tembakan, mereka kemudian melakukan pemeriksaan seluruh rumah Haji Hasan Arif dan menangkapi para pengikutnya.

Pihak pemerintah Belanda menuduh, bahwa peristiwa Cimareme itu merupakan pemberontakan yang diatur oleh Sarekat Islam, khususnya Sarekat Islam Afdeling B. Sebaliknya phak keluarga Haji Hasan Arif, mengatakan bahwa gerakan tersebut tidak ada hubungannya dengan kegiatan Sarekat Islam apalagi dengan Sarekat Islam Afdeling B.

Berikutnya, Kisah Serekat Islam Afdeling B.

Penulis: Dwiky Gustian Nugraha, Mahasiswa Magister Pendidikan Sejarah, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.