ETNOGRAFI.ID: Perang Aceh atau perang Belanda di Aceh, berawal dari ketika Belanda menumpuk kekuatannya di perairan Singapura, tidak lama setalah penandatanganan Traktat London (1924) dengan Inggris, kemudian dilakukan Traktat Sumatra tahun 1871.
Traktat ini adalah deklarasi legalitas bagi Belanda untuk memperluas wilayah kekuasaannya di pulau Sumatra, dan tidak lagi dihalang-halangi oleh kekuatan besar lainnya dalam hal ini ialah Inggris. Orang-orang Aceh merasa terancam oleh kehadiran Belanda. Karena tidak diterima, kemudian pada tahun 1873, Belanda memaklumatkan perang terhadap Aceh.
Kondisi masyarakat Aceh akhir abad ke XIX dan struktur kepemimpinan di Aceh pada saat itu, ada dua jenis pemimpin yaitu pemimpin adat dan pemimpin agama. Pemimpin adat terdiri dari sultan dan kerabat-kerabat yang membantunya diantaranya adalah uleebalang (raja-raja kecil), kerabat-kerabat yang membantunya dan geuchik-geuchik atau petuah-petuah (kepala kampong). Sedangkan pemimpin agama terdiri dari ulama yaitu guru agama dan para pejabat agama yang mengurus hal-hal yang berkaitan dengan lembaga agama.
Menjelang terjadinya perang Aceh, wilayah kerajaan Aceh terdiri dari tiga wilayah yaitu; pertama, Aceh Besar yaitu daerah sepanjang sungai Aceh yang terbagi atas tiga wilayah yang disebut sagi. Masing-masing sagi diberi nama menurut jumlah mukim yang dimilikinya yakni Mukim XXII, Mukim XXV, dan Mukim XXVI serta daerah yang terletak di selatan Mukim XXV yaitu Lho’Nga, Leupung dan Lhong.
Terletak di pantai Barat, pantai Utara, dan pantai Timur diri ujung Utara Pulau Sumatra, yang terdiri dari atas negara-negara atau kerajaan kecil yang merupakan federasi. Dan ketiga adalah daerah-daerah Gayo dan Alas. Daerah yang berada langsung di bawah kekuasaan Sultan adalah kawasan dalam (keraton), pekan Aceh, Kampung Merduati, Kampung Jawa, Kampung Pande, dan Kampung Keudah.
Pada saat itu Sultan Mahmud Syah (1870-1874) yang memerintah dan dibantu oleh empat orang menteri yaitu T. ali Maiikul Adil, T. Nek Raja Muda Setia, T. Nanta Setia, dan Panglima Mesjid Raya.
Akhir abad ke XIX, Aceh bukanlah pemerintahan sentral yang kuat. Aceh besar dan daerah taklukannya yang terdiri dari ratusan wilayah dipimpin secara autokrasi oleh uleebalang yang telah diakui oleh sultan.
Daerah Aceh besar yang terdiri dari tiga sagi yang merupakan daerah yang berpengaruh terhadap kerajaan Aceh memiliki panglima sagi atau pemimpin sagi yang berhak memilih dan membaiat Sultan, dan dibantu oleh dua ulama yang memperkuat hukum syara’, mereka dinamai ahlul-halil wa ‘l-‘aqdi. Aceh bukanlah hanya negeri sultan dan uleebalang tapi juga negeri ulama.
Pada abad ke-17 Aceh menjadi pusat studi Agama Islam sehingga ajaran Islam berpengaruh besar dalam masyarakat Aceh dan juga diperkuat oleh kedudukan ulama serta pimpinan agama dalam masyarakat Aceh. Ada kata-kata yang menggambarkan struktuk kepemimpinan di Aceh dan dipegang oleh orang Aceh.
”Adat ban adat hukom ban hukom, Adat ngon hukom sama kembar, tatakala mufakat adat ngon hukom nanggro senang hana goga, Adat bak Poteumerehom Hukom bak Syiah Kuala,” ini menunjukkan bahwa adat dan hukum tidak dapat dipisahkan dalam masyarakat Aceh.
Artikel ini disusun oleh: Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
- Apriroza Delaila
- Febby Indri Rezkyana AM
- Nora Ramadhana
- Nova Lady Simanjuntak