Keteguhan Hati Cut Nyak Dien

1
79

ETNOGRAFI.ID: Perang Aceh atau perang Belanda di Aceh, berawal dari ketika Belanda menumpuk kekuatannya di perairan Singapura, tidak lama setalah penandatanganan Traktat London (1924) dengan Inggris, kemudian dilakukan Traktat Sumatra tahun 1871.

Traktat ini adalah deklarasi legalitas bagi Belanda untuk memperluas wilayah kekuasaannya di pulau Sumatra, dan tidak lagi dihalang-halangi oleh kekuatan besar lainnya dalam hal ini ialah Inggris. Orang-orang Aceh merasa terancam oleh kehadiran Belanda. Karena tidak diterima, kemudian pada tahun 1873, Belanda memaklumatkan perang terhadap Aceh.

Ketika agresi dilancarkan Batavia, maka yang terjadi ialah perang dari dua Negara. Inilah fase pertama (1873-1875), disaat perang berada dibawah komando Sultan atau yang mewakilinya. Tetapi, kemudian setelah dalam (keraton) diduduki oleh pemerinta Hindia Belanda dan sultan Mahmud Syah mangkat (1874).

Sementara sultan yang baru dinobatkan masih dibawah umur (usia 3 tahun), maka Atjeh-oorlog berubah menjadi perang-perang di daerah yang dipimpin para uluebalang, melawan gerak maju tentara Hindia Belanda. Struktur kenegaran yang relatif lemah serta keterikatan antara sultan dengan uleebalang melalui surat pengabsahan uluebalang (sarakata) dan bantuan ekonomis dari uluebalang kepada sultan, menjadikan hubungan antara dalam dengan wilayah kekuasaan uluebalang terganggu faktor luar lainnya.

Begitulah ketika faktor luar telah berhasil melumpuhkan dalam, maka uluebalang-uluebalang lebih banyak bertindak sendiri daripada menunggu instruksi dari sultan.

Inilah fase kedua (1876-1896), ketika para uluebalang tampil sebagai pemimpin dan sultan atau wakilnya lebih merupakan unsur pemersatu daripada sebuah komando. Fase ini merupakan sejarah terpanjang dan paling berdarah dari Atjeh-oorlog.

Tak lama uluebalang-uluebalang terkemuka di sepanjang pantai Timur telah dapat ditaklukkan, maka mereka yang masih hidup bersedia menerima pengaturan kekuasaan baru dengan mengakui kedaulatan Hindia Belanda. Ketika itulah memasuki fase perang rakyat berkecamuk dengan ulama sebagai pemimpinnya.

Di bawah kepemimpinan ulama, perang bukanlah sekedar menyabung nyawa dalam membela negeri, tetapi juga sebagai tindakan yang secara spiritual bermakna. Dengan demikian, perang pun disakralkan dan dijadikan sebagai tugas suci. Mati tidaklah berarti berakhirnya kehidupan, akan tetapi sebaliknya sebagai awal mula kehidupan yang semurninya dan keabadian yang menjanjikan kebahagian tanpa henti.

Ideologi perang sabil telah tertanam pada masyarakat Aceh sejak Portugis menyerang Aceh abad ke XVII. Hikayat perang sabil disuarakan di dayah-dayah dan meunasah-meunasa oleh ulama. Isi dari hikayat perang sabil adalah anjuran berperang dan menggambarkan pahala yang didapat dan bahagia yang diraih, serta mengani tokoh atau keadaan perang yang patut disampaikan. Seruan perang sabil juga disampaikan ketika khutbah juma’at.

Dibawah komando ulama, ideologisasi perang dilakukan sehingga mati dalam melawan kafir adalah syahid di jalan Allah dan itulah sesungguhnya kehidupan seorang muslim yang taat dalam konteks perang. Perang sabil yang juga dikenal dengan istilah prang atau poh kaphé. Ada sebagian masyarakat yang salah memahami makna dari perang sabil, sehingga ada dua sudut pandang terhadap pembunuhan orang kafir yaitu Atjeh moor yang klasik yaitu pemahaman yang benar dan Atjeh moord yang dilakukan oleh orang yang hilang keseimbangan jiwa disebut “regresi”.

Pengaruh akan hikayat perang sabil telah memepangruhi masyarakat Aceh terutama untuk semangat melawan kafir yaitu Belanda yang tidak seagama dengan masyarakat Aceh. Ulama menjadi mobilisasi kekuatan masyarakat Aceh melawan Belanda. Uleebalang, ulama dan masyarakat Aceh saling menyumbang untuk membantu dana dalam perang. Ulama-ulama yang memobilisasi kekuatan diantaranya yaitu Tgk. Chik di Tiro, Tgk. Chik Kutakarang, dan Teungku Tapa.

Fase perang ketiga (1896-1903) diawali dengan kekalahan yang berutun yang dialami Aceh serta dengan menyerahnya Tuanku Muhammad Daud Syah pada 10 Januari 1903. Dikarenakan pihak Belanda berhasil menangkap istri-sitri sultan beserta anaknya dan mengancam akan membuang mereka bila sultan tidak mau menyerah. Pada tanggal 20 Januari 1903, van Heutsz menerima Tuanku Muhammad Daud Syah dan mengikrarkan pengakuannya terhadap Belanda.

Menyerahnya Sultan menjadi awal kekalahan bagi masyarakat Aceh, dan perjuanga-perjuangan yang dilakukan selanjutnya sering mengalami kekalahan. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh taktik yang mulai digunakan oleh Belanda dalam melawan Aceh yaitu politik agresi dengan membentuk pasukan marsose.

Kemudian fase keempat (1903-1912) ialah perlawanan di Aceh Besar (1903-1912), setelah sultan Daud menyerah, para pemimpin dan masyarakat di Aceh Besar terus melakukan perlawanan dan secara diam-diam siltan memberikan bantuan. Namun, setelah Letnan Kolonel H.N.A Swart menjadi gubernur militer dan sipil di Aceh, ia menjalankan politik trasifikasi yang luas hingga para uleebalang merasa merasa terdesak sehingga kepada pemimpin agama yang masih berjuang untuk taslim atau menyerah kepada Belanda, akan tetapi tidak ada respon dari para pemimpin ulama.

Perlawanan yang terjadi di Pidie (1902-1913), di Aceh Tengah dan Tenggara (1903-1912), dan di Aceh Barat (1903-1912), yang dilakukan oleh para uleebalang yang tidak mau tunduk kepada Belanda dan juga oleh para ulama yang masih tegus memperjuangan ijtihadnya hingga gugur dalam pertempuran.

Sebelumnya pada 29 Maret 1896 dianggap sebagai titik balik dalam sejarah perang Belanda di Aceh.Teuku umar dengan sejumlah pemimpin-pemimpin Aceh meninggalkan Belanda, yang berpihak kepada Belnda kemudian kembali dalam pasukan Aceh (Alfian, 2016, hlm. 161).

Keteguhan Hati Seorang Cut Nyak Dien

Di sini sikap Cut Nyak Dhien sebagai istri Teuku Umar ikut mempengaruhi suaminya itu untuk kembali kedalam pasukan Aceh dan menyerang Belanda.Sikap Cut Nyak Dhien yang sangat membenci dan penuh semangat memerangi Belanda inilah yang mempengaruhi T. Umat untu kembali memerangi Belanda. Walaupun suaminya pernah berpihak kepada Belanda tapi Cut Nyak Dhien tidak pernah ikut suaminya, ia bahkan semakin membenci Belanda dan terus melawan Belanda, hingga kegigihannya yang merubah pandangan suaminya.

Pada 10 Februari 1899 di Ujung Kala, dekat Meulaboh Teuku Umar gugur.Akan tetapi perlawan masyarakat Aceh terhadap Belanda di berbagai daerah dan juga di Aceh Barat sebagai domisili T. Umar. Termasuk Cut Nyak Dhien terus melanjutkan perjuangan samapi pada tanggal 4 November 1905, ia di tangkap oleh Letnan Van Vuuren atas petunjuk dari Panglima Laot.

Panglima Laot tidak tahan melihat cut Nyak Dhien yang hidup tidak makan nasih hanya makan pisang bakar dengan sayur hati pisang dan Cut Nyak Dhien juga terkenan penyakit buta. Ketiak Cut Nyak Dhien tahu ia dikepung, ia sangat marah dan hendak menikam rencong kepada Panglima Laot, karean diangga dapat mengancam keamanan ia di buang ke Sumedang, Jawa Barat atas dasar ketetapan Pemerintah Belanda tangga 11 Desember 1906 No. 32 brsama kemenakannya T. Nana (Alfian, 2016, hlm. 190-191).

Baca Juga : Cut Nyak Dien, Sosok Pejuang Berparas Cantik Dari Aceh

 

Artikel ini disusun oleh: Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

  1. Apriroza Delaila
  2. Febby Indri Rezkyana AM
  3. Nora Ramadhana
  4. Nova Lady Simanjuntak     

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.