Mengenal Sejarah Pemilihan Umum di Indonesia

0
183
Mengenal Sejarah Pemilu di Indonesia

SEJARAH, ETNOGRAFI.ID—Hari ini Rabu 27 Juni 2018 hajat demokrasi Negara Indonesia kembali dilaksanakan. Hajat rakyat lima tahunan itu, diselenggarakan secara serentak. Pemilihan umum di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Tentu seiring kedewasaan dalam berkehidupan bangsa dan negara, Indonesia kini menjadi barometer dunia dalam pelaksaaan pemilihan yang dilaksanakan secara langsung jujur dan adil.

Sebagai putra bangsa Indonesia, perlu kita menyimak dan mengenal lebih dekat perjalanan panjang pemilu dari masa ke masa.

Pertama Pemilu 1955

Pertama Pemilu 1955

Pemilu dari zaman soekarno hingga sekarang.  jadi gini bray berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1953, pemilu tahun 1955 dilaksanakan dalam rangka memilih anggota-anggota parlemen (DPR) dan Konstituante (Lembaga yang memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan perubahan terhadap konstitusi negara). Sistem yang digunakan pada Pemilu 1955 adalah sistem perwakilan proporsional.

Berdasarkan sistem ini, wilayah RI dibagi dalam 16 daerah pemilihan walaupun pada akhirnya daerah ke-16 yaitu Irian Barat gagal melaksanakannya karena daerah tersebut masih dikuasai oleh Belanda. Pendaftaran Pemilu 1955 dilaksanakan sejak bulan Mei 1954 dan selesai pada November 1954.

Untuk jumlah warga yang memenuhi syarat masuk bilik suara sebesar 43.104.464 jiwa. Berdasarkan jumlah tersebut, sebanyak 87,65% atau 37.875.229 yang menggunakan hak pilihnya kala itu. Kalian tahu kan kalau Pemilu sekarang itu kan anggota TNI dan Polri tidak boleh ikut memilih. Nah, pada Pemilu 1955, anggota TNI-APRI diperbolehkan menggunakan hak pilihnya sesuai peraturan yang berlaku pada saat itu. 

Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:

  1. Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,
  2. Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.

Kedua Pemilu 1971

Kedua Pemilu 1971

Empat tahun setelah resmi menggantikan Soekarno sebagai Presiden RI, Soeharto menggelar pemilu pada 5 Juli 1971. Hajatan politik nasional itu memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat provinsi dan kabupaten. Ini pemilu pertama pada masa Orde Baru.

Total ada 10 partai politik yang bertarung kali ini dan hanya delapan parpol yang meraih kursi. Muncul dua partai baru, yaitu Golongan Karya (Golkar) dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Beberapa parpol pada Pemilu 1955 tak lagi ikut serta karena dibubarkan, seperti Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pemilu menggunakan sistem proporsional dengan daftar tertutup dan semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Golkar menang dengan mengantongi 62,8 persen suara (236 kursi DPR). Disusul Nahdlatul Ulama (NU) dengan 18,6 persen suara (58 kursi), Parmusi dengan 5,3 persen suara (24 kursi), Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dengan 6,9 persen suara (20 kursi), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dengan 2,3 persen suara (10 kursi).

Menurut sejarawan Anhar Gonggong, Golkar sudah diperkirakan bakal menang secara merata meski baru kali pertama ikut pemilu. Sekretariat Bersama Golkar dijadikan kendaraan politik Soeharto. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan seluruh jaringannya, pegawai negeri sipil (PNS), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), serta birokrasi di semua tingkat menjadi alat untuk memobilisasi rakyat dari pusat sampai ke desa-desa agar memilih Golkar.

Ketiga Pemilu 1977-1997

Ketiga Pemilu 1977-1997

Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971.

Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi.

Ini seiring dengan tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar.

Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara nasional Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP.

Secara nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi. Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu pada ketentuan Pemilu 1971.

Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23 April 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian kursi juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya.

Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya mendapat 61 kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi partai itu memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari Ka’bah kepada Bintang dan terjadinya penggembosan oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Cara pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama dengan Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 ini pada waktu itu agak mengagetkan banyak orang. Sebab, perolehan suara Golkar kali ini merosot dibandingkan Pemilu 1987.

Kalau pada Pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai 73,16 persen, pada Pemilu 1992 turun menjadi 68,10 persen, atau merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak nyata bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 menjadi 282, atau kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya.

PPP juga mengalami hal yang sama, meski masih bisa menaikkan 1 kursi dari 61 pada Pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada Pemilu 1992 ini. Tetapi di luar Jawa suara dan kursi partai berlambang ka’bah itu merosot. Pada Pemilu 1992 partai ini kehilangan banyak kursi di luar Jawa, meski ada penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Malah partai itu tidak memiliki wakil sama sekali di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di Sumatera.

PPP memang berhasil menaikkan perolehan 7 kursi di Jawa, tetapi karena kehilangan 6 kursi di Sumatera, akibatnya partai itu hanya mampu menaikkan 1 kursi secara nasional.

Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnnya.

Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya.

PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992. Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar.

Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti.

Ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.

Keempat Pemilu 2004

Pemilihan umum ini merupakan pemilihan umum ke sembilan yang dilaksanakan Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan. Dalam Pemilu kali ini, pemerintah terus berbenah dan menata kehidupan politik dengan menjawab masukan dan kritikan dari pihak-pihak yang peduli dengan penegakan demokrasi di negeri ini.

Salah satunya adalah menghilangkan kursi ABRI/POLRI di lembaga legislatif dan munculnya senator baru yakni anggota dewan perwakilan daerah (DPD) yang merupakan pengganti perwakilan utusan daerah.

Sebelum memasuki penyelenggaran Pemilihan Umum tahun 2004, perangkat-perangkat Pemilihan Umum dipersiapkan. Paket UU Politik kembali menjadi perhatian yang harus segera dilakukan perubahan.

Tiga produk UU Politik tahun 1999 dilakukan revisi dan kemudian diterbitkan UU baru, UU nomor 31 tahun 2002 tentang Partai Politik menggantikan UU nomor  2 tahun 1999, UU 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD pengganti UU lama nomor 4 tahun 1999 dan lahirnya undang-undang baru untuk pemilihan umum presiden dan wakil presiden nomor 23 tahun 2003.

Menjelang berakhirnya tahun 2009,-2014  berbagai refleksi akhir tahun digelar sejumlah lembaga sesuai dengan kepeduliannya masing-masing. Salah satunya oleh lembaga-lembaga pemantau pemilu.

Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menyampaikan catatannya mengenai daftar pemilih tetap (DPT) yang menimbulkan kekisruhan pelaksanaan Pemilu 2009.

Dia mengatakan, pendataan DPT pada pemilu tahun ini merupakan yang terburuk sepanjang sejarah pemilu Indonesia.  Dari sisi legalistis, rentang waktu pemutakhiran data pemilih yang sangat sempit mengakibatkan masa sosialisasi kepada masyarakat menjadi sangat pendek.

Akibatnya, proses pemutakhiran dan sosialisasi dilakukan tergesa-gesa. Persoalan teknis, di antaranya, terlambatnya pencairan dana pemutakhiran DPT sehingga menghambat proses yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Ke depannya, kata Sebastian, penanggung jawab DPT harus jelas. Saat ini, terjadi lempar tanggung jawab antara KPU dan Pemerintah, dalam hal ini Menteri Dalam Neger

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2014 (disingkat Pilpres 2014) dilaksanakan pada tanggal 9 Juli 2014 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Indonesia untuk masa bakti 2014-2019.

Pemilihan ini menjadi pemilihan presiden langsung ketiga di Indonesia. Presiden petehana Susilo Bambang Yudhoyono tidak dapat maju kembali dalam pemilihan ini karena dicegah oleh undang-undang yang melarang periode ketiga untuk seorang presiden. 

Menurut UU Pemilu 2008, hanya partai yang menguasai lebih dari 20% kursi di DPR atau memenangi 25% suara populer dapat mengajukan kandidatnya.

Undang-undang ini sempat digugat di Mahkamah Konstitusi namun pada bulan Januari 2014, Mahkamah memutuskan undang-undang tersebut tetap berlaku.Pemilihan umum ini akhirnya dimenangi oleh pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan memperoleh suara sebesar 53,15%, mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang memperoleh suara sebesar 46,85% sesuai dengan keputusan KPU RI pada 22 Juli 2014.

Presiden dan Wakil Presiden terpilih dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014, menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono.

(DA Wibowo)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.