Melawan Lupa Rasa Tradisi Es Dawet “Ayu”

0
95

BANJAR, ETNOGRAFI.ID–Sutejo (65) warga Majenang, Jawa Tengah mencoba mengadu nasib di Kota Banjar, Jawa Barat.

Bermodalkan tiga gentong dan gerobak yang diberi nama oleh dia roda perekonomian ini, Sutejo menggantungkan harapannya pada setiap pembeli es dawet ayu buatanya.

Es dawet ayu buatan Sutejo ini berbeda pada umumnya. Selintas hanya sebuah gerobak dorong biasa hanya membedakan dari sisi asesorisnya saja. Ternyata gerobak es dawet ini syarat dengan makna tradisi.

Kami melakukan bincang-bincang ringan dengan Mas Sutejo pedagang es dawet ayu Banjarnegara. Pria yang umurnya lebih dari setengah abad ini sedang duduk menunggu calon pembeli es dawetnya.

Cuaca pada siang itu cukup panas membuat kering tenggorokan. Mata pun tertuju pada gerobak dorong warna biru berasesoris pewayangan. Saya pun memesan es dawet ayu. Dawet campur gula merah, santan dan es balok membuat dahaga saya cukup terobati kenyalnya dawet dan manisnya gula merah membuat lidah saya merasakan sensasi secangkir es dawet buatanya.

Unik, kenapa Mas Sutejo tempat penyimpanan dawetnya tidak menggunakan toples kaca seperti tukang dawet yang sering kita temui di tempat jajanan pasar.

Sutejo punya alasan, bahwa dengan menggunakan gentong akan membedakan dari citra rasa berbeda juga suhu udara dawet akan tetap segar dan dingin.

“Orang tua dulu suka menggunakan gentong mas, untuk menyimpan dawet. Ya, karena pada waktu itu belum ada toples. Tapi memang ada pengaruh pada kualitas dari dawet yang disimpan di gentong dan di toples. Kalau di toples akan ada rasa panas dan kelembaban udara pun beda. Sedangkan pakai gentong suhu kelembaban udara akan tetap stabil sehingga kualitas dawet pun akan tetap segar,” jelas dia.

Lalu apa makna yang terkandung dengan dipasangkan dua tokoh punakawan pewayangan Semar dan Gareng.

Rupanya pemasangan tokoh punakawan itu memiliki arti bahwa Semar dan Gareng itu memiliki karakter lucu, penghibur serta ramah. Selain itu, diambil untuk sebuah akronim dari kata segar di musim kemarau.

Akronim itu diambil dari huruf awal Semar Gareng yakni Se dan Gar kemudian Mareng yang artinya kamarau.

Sehingga menurut Sutejo diimplementasikan dalam kehidupan meskipun dalam keadaan suasana diri panas, tetap hati dan kepala harus tetap dingin segar.

“Makna itulah yang tidak diketahui oleh anak jaman sekarang hanya dianggap sebuah dagelan lucu saja. Padahal ini ada arti bagi kehidupan,” ucap dia.

Perbincangan siang itu cukup nyaman dan penuh keakraban. Proses kehidupan tentu ada kebiasaan yang tercipta dari hasil pemikiran dan perenungan manusia sehingga menjadi budaya bersifat konstruktif.

Maka budaya dapat diartikan sebagai hasil proses perenungan manusia atas perkembangan pengetahuan pada setiap zamanya.

Secara umum, setiap zaman memiliki peradaban dan budayanya. Berdasarkan kemajuan ilmu pengetahuan manusia.

Akan tetapi, nilai warisan budaya leluhur kita yang harus tetap dilindungi dan dijaga sebagai bagian keseimbangan serta kontrol perilaku sesuai norma jati diri bangsa Indonesia.

Penulis

Syarif Hidayat
Ketua Harian Dewan Kebudayaan Kota Banjar/ Founder ETNOGRAFI.ID

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses