Pilkada Gembira Mengawinkan Politik dengan Budaya

0
44
Kedua Pemilu 1971

Oleh: Sofian Munawar, MA, Komisioner KPU Kota Banjar

OPINI, ETNOGRAFI.ID–Menjelang hari pencoblosan Pilkada Serentak 27 Juni 2018 banyak pesan WhatsApp berseliweran seputar dinamika Pilkada. Terutama ragam ajakan untuk memilih atau tidak memilih Pasangan Calon (Paslon) tertentu, baik Paslon untuk Pemilihan Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota maupun Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur. Model pesannya tentu sangat beragam, mulai dari yang bersifat persuasif, agitatif, bahkan provokatif.

Diantara WA yang berseliweran itu yang paling banyak saya dapatkan adalah pesan berikut: “Jangan gara2 Pilkada persahabatan kita sampai putus. Ingat!!! Kalau kamu sakit, yang nengokin kamu itu sahabatmu, bukan gubernur/bupati/walikota pilihanmu … Ingat juga!!! Kalau kamu gak punya duit, yang ngutangin kamu itu bukan gubernur/bupati/walikota yang kamu bela mati2an itu. MIKIIIRRR … ”.

Sepintas pesan itu seolah menyikapi proses dan gelaran Pilkada ini secara “nyinyir” dan memaknainya secara apatis. Namun begitu, bila pesan itu disandingkan dan dikomparasikan dalam konteks dimana membuncahnya pesan-pesan lain yang bernuansa agitatif dan provokatif, saya justru memaknai pesan ini sebagai pesan yang moderat sekaligus “nyantai”.

Lebih jauh, menurut hemat saya, pesan ini seolah mempersuasi kita untuk memaknai Pilkada secara biasa-biasa saja. Pilkada tentu sangat penting sebagai perwujudan hak politik kita sebagai warga negara, tapi tidak perlu disikapi secara berlebihan, apalagi sampai menimbulkan perselisihan dan perpecahan gara-gara perbedaan pilihan.

“Marilah kita ikuti prosesi Pilkada dengan gembira,” kira-kira begitulah kesan saya dengan pesan tersebut.

Terkait Pilkada yang “gembira” ini, jauh-jauh hari sebenarnya KPU Provinsi Jawa Barat telah menggagasnya dengan menetapkan tema khusus yang dijadikan tagline Pilkada Serentak di Jawa Barat, yaitu: “Pilgub Jabar Semarak, Pilkada Serentak Gembira”. Kata “Semarak” merupakan akronim dari Semangat, Mandiri, Ramah, dan Aksesibel. Sementara “Gembira” diartikan sebagai Gerakan Membangun Demokrasi yang Bermartabat dan Adil.

Selain itu, Pilkada di Jawa Barat juga mengusung tema khusus yang dijadikan target capaiannya, yakni “Menjadikan Pilkada Serentak sebagai sarana edukasi demokrasi dan wahana wisata politik bagi masyarakat Jawa Barat, Indonesia, dan dunia”.

Sepintas, hal ini terkesan muluk dan bombastis, bahkan ambisius. Namun begitu, harapannya memang Jawa Barat (Jabar) tidak hanya dikenal dengan keindahan alam dan wisata kulinernya, tapi perhelatan besar politik di Jabar pun dapat ditawarkan menjadi wisata politik yang menarik. Karena itu, misalnya, pada ajang Debat Publik Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Jabar kita menyaksikan “suguhan kultural” selain tema-tema politik kenegaraan.

Kita tentu masih ingat, misalnya, bagaimana saat Debat Publik, para Paslon Cagub/Cawabub Jabar diberikan waktu dan kesempatan untuk unjuk kreativitas seni-budaya.

Pada sesi ini, pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzahnul Ulum menampilkan tarian etnik. Keduanya berjoged diiringi lagu berisi ajakan agar warga mencoblosnya. Pasangan Tubagus Hasanuddin-Anton Charliyan menampilkan keahlian pencak silat dengan memperagakan beberapa jurus silat bersama pendukungnya.

Sedangkan pasangan nomor tiga Sudrajat-Ahmad Syaikhu menunjukkan kebolehannya menyanyikan lagu Sunda. Sementara pasangan nomor empat, Deddy Mizwar dan Dedi Mulyadi menampilkan penyanyi kondang Charly Van Houten untuk berjoged bersama para pendukungnya.

Hal serupa juga dilakukan pada saat Debat Publik Pasangan Calon Walikota/Wakil Walikota dan Bupati/Wakil Bupati di enam belas kabupaten/kota yang pada saat yang sama secara serentak juga sedang melaksanakan Pilkada.

Di Kabupaten Subang ada tampilan budaya Sisingaan, di Kota Banjar ada tampilan wayang golek dan atraksi seni budaya dari setiap Paslon. Demikian juga di kabupaten/kota lainnya tidak kalah dengan menampilkan ragam seni-budaya lokal masing-masing.

Kreativitas seni-budaya ini tentu bukan suatu kebetulan, tapi secara sadar didedikasikan agar Pilgub Jabar dan Pilkada Serentak di Tatar Jabar menjadi sesuatu yang menyenangkan dan bukan sebaliknya menjadi sesuatu yang menyeramkan.

Pilkada sebagai Wisata Politik Istilah “Wisata Politik” dalam konteks Pilkada sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Menjelang Pilkada Kota Tasikmalaya beberapa waktu lalu, KPU Kota Tasikmalaya menggelar sejumlah agenda wisata politik sebagai bagian tak terpisahkan dari rangkaian tahapan Pilkada.

Dari beragam kegiatan dalam tahapan Pilkada itu, salah satu yang paling menarik dan unik menurut saya adalah disediakannya “Arena Wisata Politik” dalam jeda masa kampanye Pilkada Kota Tasikmalaya. Arena Wisata Politik ini diselenggarakan oleh Dinas Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Tasikmalaya dengan menampilkan stand-stand yang berasal dari para Paslon Pilkada, Partai Politik, Penyelenggara Pilkada (KPU dan Panwaslu), serta panggung terbuka untuk kegiatan seni-budaya secara bersama-sama bertempat di Alun-alun Kota Tasikmalaya.

Setidaknya, ada tiga hal yang menarik dari Arena Wisata Politik yang dikemas Dinas Kesbangpol Kota Tasikmalaya itu. Pertama, ajang ini dapat turut menjaga suhu dan temperatur politik sehingga tampak relatif stabil dan kondusif. Kedua, Arena Wisata Politik menjadi sarana hiburan warga sekaligus media sosialisasi untuk memperkenalkan agenda-agenda dan program politik, baik dari Paslon Pilkada maupun agenda-agenda dan program partai politik, serta program pemerintah terkait demokrasi dan politik kewarganegaraan secara simultan.

Ketiga, tumbuhnya partisipasi dan kebersamaan. Di tengah kompetisi politik yang kian memanas, “Arena Wisata Politik” seakan menjadi oase yang menyuguhkan semangat kebersamaan di tengah suasana persaingan.

Semangat itu tampaknya yang akan dihidupkan dan digelorakan dalam ajang Pilkada Serentak di Jawa Barat sebagai Pilkada Serentak “terheboh” di Indonesia. Banyak yang memprediksi bahwa Pilgub Jabar merupakan salah satu kontestasi demokrasi terpanas tahun ini di Indonesia.

Sementara itu, ajang Pilkada untuk level Jawa Barat tahun ini bukan saja Pilgub Jabar, tapi secara serentak diikuti 16 kabupaten/kota lainnya yang menyelenggarakan Pilkada secara bersama-sama pada 27 Juni 2018. Karenanya, Pilkada Serentak di Jawa Barat dipandang menjadi ajang politik terpanas tahun ini. Karena itu pula perlu ada sentuhan-sentuhan khusus agar prosesi kontestasi demokrasi yang pasti penuh persaingan ini tetap berjalan dalam situasi yang kondusif.

Sentuhan kultural melalui seni budaya dengan menghadirkan Pilkada sebagai “wisata politik” tampaknya merupakan pilihan alternatif solusinya.

Sofian Munawar, MA, Komisioner KPU Kota Banjar

Mengawinkan Politik dengan Budaya

Ketegangan politik yang kerap terjadi di banyak tempat dalam beragam perhelatan Pilkada bisa jadi karena membuncahnya semangat kompetisi yang tak terkendali. Persaingan politik yang sebenarnya wajar dan lumrah seketika berubah menjadi pertikaian yang melupakan akal sehat. Pertarungan gagasan untuk mencari figur terbaik terjerembab pada sahwat berkuasa dengan menghalalkan segala cara. Kondisi ini terjadi manakala politik berjalan sendiri, tanpa bimbingan etika dan sentuhan-sentuhan budaya.

Banyak ahli dan ilmuwan politik yang sejak lama mewanti-wanti pentingnya aspek budaya dalam praktik politik. Sidney Verba (2005) misalnya menyebutkan bahwa budaya politik merupakan suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol ekspresif dari nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan. Karenanya budaya politik seringkali dinisbatkan pada tiga model dominan, yaitu budaya politik parokial (parochial political culture), budaya politik kaula (subject political culture), dan budaya politik partisipan (participant political culture).

Gabriel Almond (2012) memberikan penjelasan bahwa budaya politik parokial merupakan kondisi dimana tingkat partisipasi politik dan kepedulian warga sangat rendah. Sementara budaya politik kaula menggambarkan situasi dimana warga sudah relatif maju meskipun secara politik masih bersifat pasif. Adapun budaya politik partisipan menggambarkan situasi dimana kesadaran politik warga sangat tinggi sehingga warga memiliki kemampuan dalam mengartikulasikan kepentingan-kepentingan politiknya secara baik.

Idealnya, politik seperti kelahiran awalnya, merupakan tumpuan harapan lahirnya suatu kebijakan. Khittah politik diidealisasi sebagai manifestasi kebijaksanaan tatanan kehidupan bersama secara lebih bermakna.

Dalam dimensi lain, Aristoteles menyebut politik sebagai “the art of possible”, politik adalah seni yang menawarkan beragam kemungkinan untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu kesejahteraan dan keadilan. Pada titik inilah, politik dan budaya dapat dikawinkan, disinergikan untuk meraih tujuan paling hakiki, yaitu kesejahteraan dan kemaslahatan bersama.

Pada konteks inilah suguhan seni-budaya pada gelaran Pilkada maupun idealisasi Pilkada sebagai wahana wisata politik yang digagas KPU Jabar menjadi sebuah tawaran menarik dan bahkan pada titik tertentu menjadi sesuatu yang urgen. Tawaran Pilkada sebagai wisata diharapkan dapat menjadi semacam “stabilizer” yang mencairkan suasana. Dalam dimensi ini, dinamika politik Pilkada tidak hanya dimaknai sebatas kompetisi politik yang menegangkan, tapi juga dimaknai sebagai “wisata” sehingga warga memaknai prosesi Pilkada secara gembira dan menyenangkan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.