Menilik Kinerja Dewan Kebudayaan Jawa Barat.

0
69

Opini: Yoyo Sutarya.

ETNOGRAFI: ID: Gubernur Ahmad Heryawan pernah bersuara lantang 17 Desember 2014 di gedung Pertunjukan “sakral” Sunan Ambu STSI Bandung pada waktu itu.

Point intinya mengatakan akan memfasilitasi dan mengarahkan lulusan jurusan kesenian sebagai penilik budaya di Jawa Barat, tanpa ada persyaratan formal.

Menilik tenaga pekerja serta calon pengerak kebudayaan sangat minim sekali, seperti contohya lulusan STSI Bandung sekarang Jadi ISBI yang ahli dibidangnya”– Saya bicara ini bukan berarti saya menginginkan kerja di dinas terkait.

Bukti koar gembor ucapan beliau pun tidak terbukti sampai sekarang. Kita maklumi saja mungkin sudah mempercayakan pergerakan kebudayaan kepada Dewan Kesenian Jawa Barat (DKJB). Atau jauhnya lagi kepada Dinas terkait dipemerintahan. Atau mungkin beliau tidak mengecek lagi program dan ucapannya. Sebagai urang Sunda, saya sendiri memaafkan perkataan beliau.

Pada tgl 27 November 2014, Gubernur Ahmad Heryawan Ahmad Heryawan mengukuhkan kepengurusan Dewan Kebudayaan Jawa Barat (DKJB) periode 2014-2019.

Pengukuhan ini berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 430/Kep.1592.Yansos/2014 tentang Dewan Kebudayaan Jawa Barat Periode Tahun 2014-2019.

Sebenarnya arahan Gubernur sudah jelas pembentukan tema besarnya dalam sub budaya. Di akademis memberikan ruang bagi para lulusan ahli seni untuk mengabdi dalam tatanan pemerintah menjadi penilik budaya.

Kemudian pembentukan DKJB yang secara fungsi dasar sebagai memberi arah, saran, dan masukan untuk perkembagan seni budaya.

Jika melihat pergerakan DKJB yang telah dilakukan, dapat kita cermati hanya sebagai pembuat desain besar untuk pemecahan seni budaya. Misal saja mengatasi permasalahan sosial di daerah yang terimbas oleh pembangunan bendungan, bandara dan bentuk teknis lainnya desain besar pemerintah.

Jika pun desain kebudayaan dari hulu yaitu DKJB tidak sampai di hilir. Maka akan terkesan saling menyalahkan. Pasti titik terakhirnya wilayah daerah Kabupaten.

“Itu mah orang lapangannya yang tidak eucreug” itu misalnya.

Dapat kita buktikan. Mana ‘peurah’ DKJB pada persoalan Bendungan Jati Gede? Mana solusi mereka bagi nasib para petani yang secara kebudayaan berubah dari tani pesawahan ke pengolahan air. Bukti nyata, tidak ada.

Mana hadir mereka disaat 2 kampung kelaparan akibat tidak ada beras. Mana konsep meraka saat anak – anak tidak jelas sekolahnya. Mana peran mereka saat bentuk prostitusi ada.

Contoh nyata budayawan/pemikir di Jawa Barat kesannya borjuis. Hanya duduk di belakang bangku tak terjun langsung ke lapangan. Melangengkan sebuah teori saja.

Ngusap raray lur…Jaman sudah berubah.

Jika ditilik lanjut. DKJB hanya seperti konsultan budaya yang lumrah dilakukan oleh Konsultan budaya pada umumnya yang biasa dilakukan oleh para IO. Seperti ayojalanjalan.com yang menawarkan jasa konsultan budaya yang berjejaring langsung dengan kementrian.

Terkesan dasar pergerakannnya tidak mengarah pada inti kebudayaan hanya bentuk teknis saja. Makanya saya berbicara ini adalah untuk melihat sejauh mana gerak gerik DKJB sampai saat ini.

Apa peran Dewan Kebudayaan Di Jawa Barat Bagi Adat?

1. Peran DKJB di Kanekes atau Baduy kurang respon sangat sekali. Bukti nyata pengaruh dari luar sedang mengempur tatanan adat istiadat baduy.

2. Peran DKJB di Kampung Naga kurang tanggap. Bukti di lapangan pariwisata berpandangan gelap terhadap adat Kampung Naga.

3. Peran DKJB di Kampung Kuta lemah. Bentuk ajakan dari dinas pariwisata yang akan mendirikan hotel di kampung kuta.

4. Kasultanan di Cirebon. Komunikasi dan arah sebagai Kota yang dibentuk untuk menjadi metropolis tidak di terkawal dengan baik arahnya.

5. Kasepuhan Banten Kidul Ciptagelar.  DKJB kurang faham kalau isu beras lokal dijajah oleh bibit padi dari luar.

Bukan salah mencontohkan atau memojokan DKJB, selama kurun waktu sebagai penulis lepas dan pembuat film dokumenter saya menemukan hal itu di lapangan.

Nyata tidak mengada ada. “Kan papatah urang sunda ulah omongkuen na mun lain omongkeunana” yang diutaran oleh saya buka nga wawaas keadaan di lapangan. Tapi lamban dan tidak tepat lah kinerja DKJB.

Pilihan pertama DKJB. Seringlah main ke daerah, menyamarlah. Tinggalkan pangkat gelar dan apalah lainnya. Jangan merasa paling terdepan dan senior mentang mentang rektor guru besar atau dosen.

Jago akademis adalah jago kandang. Lemah menterjemahkan realitas. Mari kita sambungkan gagasan pemikiran ini, siapa tahu ada jalan keluarnya. Atau kita sebagai kalangan muda menyarakan DKJB adalah sebagai dewan penasehat seni budaya saja.

Bukan jadi pengurus. Supaya pola regenerasi tidak ortodok seperti masa bapak bapak pengurus sekalian.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.