ETNOGRAFI. ID: Memiliki nama kecil Otong Syatori, KH. Abdul Halim merupakan seorang ulama besar dan pejuang asal Majalengka, Jawa Barat yang lahir pada tanggal 26 Juni 1887 di Desa Ciborelang, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Putra ke-8 dari pasangan KH. Muhammad Iskandar dengan Hj. Siti Mutmainah ini dilahirkan di lingkungan keluarga Pesantren dan telah memperoleh pendidikan agama sejak balita dari keluarganya maupun dari masyarakat sekitar.
Sejak kecil, Abdul Halim tergolong anak yang gemar membaca. Terbukti, ia banyak membaca ilmu-ilmu keislaman maupun kemasyarakatan.
Di usia 10 tahun, Abdul Halim sudah memiliki keinginan untuk belajar Al-qur’an dan Hadits kepada KH. Anwar [seorang ulama terkenal dari Ranji Wetan, Majalengka. Lebih jauh lagi, Abdul Halim belajar di sejumlah pondok pesantren yang ada di wilayah Majalengka, Cirebon, Kuningan, bahkan Pekalongan (Jawa Tengah).
Nampaknya, selain belajar ilmu keislaman, Abdul Halim juga menyempatkan diri untuk belajar bahasa Belanda dan huruf Latin kepada seorang pendeta dan misionaris bernama van Hoeven di wilayah Cideres, Majalengka.

Tak cukup belajar keislamanan di berbagai pesantren di Indonesia, Abdul Halim pun memutuskan untuk pergi ke Mekkah dan mendalami ilmu-ilmu keislaman.
Seperti yang dilansir oleh SINDONEWS.com pada 6 Februari 2016, bahwa selama berada di Mekkah, Abdul Halim berguru kepada ulama-ulama besar diantaranya Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (seorang ulama asal Minangkabau, Indonesia yang menetap di Mekkah dan menjadi ulama besar sekaligus menjadi Imam di Masjidil Haram).
Selain itu, Abdul Halim juga mempelajari kitab-kitab karya Syeikh Muhammad Abduh, Syeikh Muhammad Rasyid Ridlo, dan ulama pembaharu lainnya.
Selama tiga tahun menuntut ilmu di Mekkah, Abdul Halim banyak bergaul dengan tokoh Muhammadiyah (KH. Mas Mansur) dan Nahdlatul Ulama (KH. Abdul Wahab). Hubungan yang dekat terhadap kedua tokoh inilah yang kemudian membuat Abdul Halim terkenal sebagai ulama yang amat toleran.
Setelah menuntut ilmu di Mekkah, Abdul Halim memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Di Indonesia, ia mengajar santri-santri di daerah Majalengka. Pengabdiannya kepada daerah kelahirannya inilah yang membuatnya dikenal sebagai tokoh yang penting yang patut diketahui oleh masyarakat daerah tersebut.
Menurut Sidney Hook, dalam bukunya berjudul “The Hero in History” dijelaskan teori The Eventful Man yang digambarkan sebagai seorang yang menduduki posisi penting dalam sejarah (Wiriaatmadja, 2017, hlm. 24).
Apabila dilihat dari teori tersebut, Abdul Halim memiliki posisi penting dalam perjalanan sejarah di Indonesia.
Tahun 1911, mendirikan lembaga pendidikan Majelis Ilmi di Majalengka.
Tahun 1912, mendirikan lembaga pendidikan Hayatul Qulub (arti: Kehidupan Hati). Akan tetapi tiga tahun kemudian lembaga ini dibubarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda karena dianggap sebagai penyebab kerusuhan dalam peristiwa penyerangan took-toko milik Cina di Majalengka tahun 1915.
Tahun 1916, mendirikan lembaga pendidikan baru Jami’iyah al-l’anat al-Muta’alimin (Perkumpulan Pertolongan untuk Pelajar). Karena mendapat dukungan dari H.O.S. Tjokroaminoto (Ketua SI) maka lembaga ini kemudian berkembang menjadi Persjarikatan Oelama (Perserikatan Ulama).
Tahun 1943, menjadi anggota Chuo Sangi In. Dalam lembaga ini, Abdul Halim berjuang untuk mendapatkan perizinan dari Pemerintah Jepang perihal lembaga pendidikan yang baru dibentuknya. Setelah mendapat izin, lembaga ini berganti nama Perikatan Oemat Islam (Ketuanya KH. Abdul Halim).
Tahun 1945, menjadi anggota BPUPKI menduduki sebagai anggota Panitia Pembelaan Tanah Air yang diketuai Abikoesno Tjokrosoejoso.
Setelah Indonesia Merdeka, KH. Abdul Halim diangkat sebagai anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah (BP KNID) wilayah Cirebon.
Tahun 1948, pada waktu Agresi Militer II, ia aktif membantu kebutuhan logistic bagi pasukan TNI dan para gerilyawan.
Sebagai ulama yang berwawasan kebangsaan dan persatuan, ia menentang gerakan Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo dan menuntut pembubaran Negara Pasundan bentukan Belanda.
Tahun 1950-an, menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Barat yang kemudian menjadi anggota Konstituante.
Tahun 1962, Abdul Halim wafat.
Sepak terjang serta jasa-jasa yang dilakukan Abdul Halim terhadap Indonesia, Pemerintah Indonesia menganugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 041/TK/Tahun 2008.
Untuk ranah lokalitas, sebagai rasa hormat atas jasa-jasanya, namanya diabadikan menjadi nama jalan protocol di Majalengka.
Penulis: Hena Gian Hermana
Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.