Amarah Cut Nyak Dien Dalam Perang Aceh

0
97
Sumber: Tribun.com

ETNOGRAFI.ID: Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citdadel van Antwerpen. Perang Aceh meletus. Perang Aceh 1 (1873-1874), yang dipimpin oleh Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Kohler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit.

Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen dibawah pimpinan Kohler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya.Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang ini. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara Kohler tewas tertembak pada April 1873 (Ibrahim, 1996, hlm. 21).

Pada tahun 1874-1880, dibawah pimpinan Jenderal Van Swieten, daerah Mukim VI dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak Dien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah Mukim VI.

Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.Selama berkecamuknya peperangan, Teuku Chik Ibrahim meninggalkan Cut Nyak Dien di Lampadang untuk berjuang. Oleh karena itu, Teuku Ibrahim jarang berada dirumah. Bersama Teuku Imum Leungbata maju keperbatasan mukim VI dan berusahan menaklukkan Meuraksa. Belanda semakin gencar untuk menundukkan daerah lainnya di luar Keraton dan Mesjid Raya.

Pasukan Belanda bergerak terus menuju wilayah IX mukim dan pasti akan menuju ke VI mukim, berbulan-bulan Teuku Chik Ibrahim tidak bertemu Cut Nyak Dien. Kedatangannya ingin mengabarkan kepada Cut Nyak Dhien dan rakyat mukim VI harus meninggalkan Lampadang dan mengungsi ke tempat yang lebih aman dan menyiapkan bekal yang cukup untuk melakukan perjalanan yang panjang. Pada tanggal 29 Desember 1875, rombongan Cut Nyak Dien meninggalkan Lampadang.Pasukan Teuku Nanta dan Teuku Ibrahim yang bermaksud mempertahankan mukim VI akhirnya harus menyingkir akibat serangan Belanda yang dipimpin oleh Van der Hayden.

Akhirnya, daerah mukim VI berhasil dikuaisai kolonial. Pada tanggal 29 juni 1878, dalam suatu pertempuran di Lembah Beurandeun Gle Tarum, kemukiman Montasik, Sagi XXII, Teuku Ibrahim dan beberapa pengikutnya syahid (Ibrahim, 1996, hlm. 28).

Kekecewaan dan kesedihan sebagai akibat ditinggal suaminya dan darah kepahlawanan yang mengalir dari keluarganya menjadi dasar kuat bagi Cut Nyak Dien, bahkan ia pernah berjanji akan bersedia kawin dengan laki-laki yang dapat membantunya untuk menuntut bela terhadap kematian suaminya.

Adalah suatu hal yang tepat bila kemudian datang seorang laki-laki yang bersedia membantu Cut Nyak Dien membalaskan dendam kepada Belanda, setelah bertahun-tahun menjanda, ia dipinang oleh Teuku Umar yang kebetulan adalah cucu dari kakek Cut Nyak Dien sendiri.Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dien.

Pada awalnya Cut Nyak Dien menolak, namun, karena Teuku Umar mempersilahkannya untuk ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880 (Eddy, 2001).

Bersatunya dua kesatria ini mengobarkan kembali semangat juang rakyat Aceh. Kekuatan yang telah terpecah kembali dipersatukan. Belanda di Kutaraja mendengar pernikahan antara Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Uleebalang yang memihak Belanda merasa kecut juga mendengar pernikahan mereka, adapun Tgk Chik di Tiro dan kawan-kawan seperjuangannya amat mendukung pernikahan mereka.

Bukti dari ampuhnya persatuan kedua pejuang Aceh ini adalah dapat direbut kembali wilayah mukim VI dari tangan Belanda. Cut Nyak Dhien dapat pulang lagi ke kampung halamannya, pada saat itu Teuku Nanta sudah sangat tua, oleh karena itu, Cut Rayut diangkat menjadi uleebalang pengganti Teuku Nanta. Namun sesungguhnya pengangkatan itu hanya sekedar kamuflase saja.

Dengan diangkatnya Cut Rayut menjadi uleebalang, Cut Nyak Dhien akan bebas menjalankan politik dalam perjuangan Aceh. Cut Nyak Dhien kembali membangun rumah tangganya di Lampisang. Rumah ini menjadi markas pertemuan para tokoh pejuang dan alim ulama yang mengorbankan semangat jihad fisabilillah (Ibrahim, 1996, hlm. 40)

Kisah Pilu Cut Nyak Dien Ditinggal Suami Gugur di Medan Perang

Jendral Van Heutz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, dan akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru.

Hal ini diketahui saat diinformasikan oleh informan yang bernama Teuku Leubeh. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien mendengar kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan Dhien berkata, Sebagai wanita Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah “Shaheed” yang senantiasa membakar semangat juang masyarakat Aceh.

Akibat kematian suaminya, Cut Nyak Dien memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur, namun tidak terlalu berpengaruh, Cut Nyak Dhien semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulitnya memperoleh makanan.

Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya, termasuk salah satu pasukannya bernama Pang Laot Ali yang melaporkan lokasi markas Cut Nyak Dhien pada Belanda karena iba, selain itu, agar Belanda mau memberinya perawatan medis dan membawa Belanda ke markas Cut Nyak Dhien di Beutong Le Sageu.Pengaruh Cut Nyak Dhien di Masyarakat cukup besar dikalangan penduduk , baik dikalangan atas maupun dikalangan bawah, cukup besar.

Cut Nyak Dhien telah kelaparan ditengah hutan-hutan sementara patroli telah memburunya kemana saja dari suatu tempat sembunyian ketempat sembunyian lain.Berminggu lamanya tidak ada sesuap nasi pun masuk kedalam perutnya. Sementara itu makanannya hanyalah pisang-pisang hutan yang direbus, enam tahun lamanya wanita ini berjuang mati-matian (Said, 2007, hlm. 479)

Dari pengakuan ini jelas bahwa Cut Nya’ Dhien adalah tokoh wanita yang luar biasa. Dalam kesulitan wanita ini hidup dihutan timbullah kesimpulan dikalangan sebagian pengagum Cut Nyak Dhien bahwa terlalu mahal kiranya bakti yang harus dibayar oleh seorang wanita lemah dan tua seperti dia. Panglima laot adalah pengikut Cut Nyak Dhien yang pertama menasehatkan agar pahlawan wanita ini meyerah saja, sebab sudah sia-sia saja melakukan perlawanan.

Dengan keamarahan Cut Nyak Dhien maka diusirlah Panglima Laot. Panglima Laot telah tidak tabah mempercerminkan kesengsaraan yang telah diderita oleh Cut Nyak Dhien, pada posisi perlawanan telah semakin sulit akibat jepitan dari pengepungan oleh Belanda yang tak henti-hentinya mencari Cut Nyak Dhien. Karena terlalu banyak penyerangan dari Belanda makanya pasukan Cut Nyak Dhien terpaksa mengundurkan diri.

Cut Nyak Dhien sudah uzur sekali dan dinaikan keatas tanduh untuk dibawa ke Meulaboh. Sepanjang perjalanan Cut Nyak Dhien terus mengutuk pasukan Belanda. Akhirnya dari Meulaboh, Cut Nyak Dhien diberangkatkan dengan kapal Belanda ke Kutaraja. Awal tahun 1907, beliau dibuang ke Sumedang yaitu pada tanggal 23 Januari 1907. Hal ini menyebabkan Panglima Laot yang menyebabkan dia terharu dan demi kesetiaan nya kepada pahlawan wanita ini ingin mengkhianatinya supaya terpelihara dari azab sengsara dalam hutan belantara, tiadalah tepat adanya (Said, 2007, hlm. 480).

BacaJuga: Keteguhan Hati Seorang Cut Nyak Dien  

 

Artikel ini disusun oleh: Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

  1. Apriroza Delaila
  2. Febby Indri Rezkyana AM
  3. Nora Ramadhana
  4. Nova Lady Simanjuntak     

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.