Daerah Anda Kesulitan Air Saat Kemarau? Ayo Tanam Air Hujan!
wartapriangan.com, INSPIRATIF. Adakah manusia yang tidak membutuhkan air bersih? Sudah pasti jawabannya: TIDAK! Bisa dipastikan, semua manusia pasti butuh air bersih. Bahkan, bukan hanya manusia, semua makhluk hidup lain juga pasti membutuhkan air bersih.
Namun, tahukah Anda seberapa besar ketersediaan air yang ada saat ini? Silahkan baca paparan di bawah ini.
Meskipun 70% permukaan bumi kita berupa air, namun ternyata sedikit sekali air yang bisa dikonsumsi manusia. Dari total air yang ada di bumi, 97,5% merupakan air asin yang ada di laut. Dan hanya 2,5% saja yang merupakan air tawar (fresh water).
Dari jumlah air tawar yang hanya 2,5% tersebut, tidak semuanya bisa langsung dikonsumsi atau digunakan oleh manusia. Hal itu dikarenakan, 68,7% dari jumlah air tawar yang ada ternyata berbentuk gletser (bongkahan es). Sisanya pun masih terbagi ke dalam air tanah, air tanah beku, air permukaan dan air kelembaban.
Laporan resmi dari UNESCO menyimpulkan, dari total air yang ada di bumi, hanya 0,4% yang bisa dikonsumsi oleh manusia. Angka yang hanya 0,4% tersebut bahkan sudah termasuk dengan air yang terkandung dalam hewan, tumbuhan dan buah-buahan yang biasa dikonsumsi oleh manusia. Air yang hanya 0,4% inilah yang setiap hari dipergunakan oleh 7 milyar lebih manusia yang ada di muka bumi.
Seharusnya, sebagai penduduk negeri syurga Indonesia, kita tidak perlu terlalu khawatir dengan isu tentang krisis air. Tuhan sudah menganugerahkan banyak sekali sumber air di Indonesia. Sungai, danau, atau mata air, adalah pemandangan yang mudah sekali ditemukan di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga memiliki curah hujan yang tinggi.
Semua anugrah itu kemudian menempatkan Indonesia menjadi negara terbesar ke-5 dalam hal ketersediaan air. Dengan ketersediaan air sebesar 3,22 Triliun kubik per tahun, setiap kepala di Indonesia seharusnya bisa menikmati 16.800 meter kubik per tahun! Ya, itu untuk satu orang saja! Jauh di atas rata-rata ketersediaan air per kapita di dunia yang hanya mematok di kisaran angka 8.000 meter kubik per tahun. Sebagai ilustrasi sederhana, kalau rata-rata di negara lain seorang manusia hanya diberi satu gelas misalnya, tapi orang Indonesia boleh sampai 2 gelas lebih sedikit. Sungguh, Tuhan sudah sangat memanjakan manusia di Indonesia.
Tapi itu tadi seharusnya, lain halnya dengan kenyataan yang ada. Faktanya, banyak daerah di negeri ini tercekik krisis air. Mungkin sedikit masuk akal ketika krisis air di Indonesia terjadi di daerah-daerah yang jauh dari sungai, danau, atau sumber air lain seperti mata air atau curah hujannya rendah. Yang mulai tidak masuk akal misalnya adalah, ketika daerah-daerah yang dekat dengan sumber air justru mengalami krisis air.
Sebut saja misalnya penduduk kaki Gunung Kidul. Padahal, bukankah gunung itu menjadi salah satu tempat alami sumber air? Hal serupa juga dialami pendudukan di Makarti Jaya, Banyuasin, Sumatera Selatan. Meski mereka bermukim di tepi Sungai Musi, ternyata tidak menjamin mendapatkan pasokan air yang melimpah. Dan yang lebih ironis, ketika Kota Hujan Bogor dinyatakan secara resmi oleh pemerintah setempatnya tengah mengalami krisis air! Itu terjadi sejak lima tahun lalu, Agustus 2012. Ribuan penduduk di 12 Kecamatan (57 Desa) di Bogor ternyata mengalami krisis air! Sekali lagi, mereka, penduduk Kota Hujan itu, saat ini tengah “mengalami” krisis air, bukan sedang “terancam”, tapi sudah benar-benar mengalami!
Lebih mengerikan lagi ketika krisis air ini kemudian memicu wabah penyakit. Laporan PBB tahun 2010 menyebutkan, setiap tahun ada 3,3 juta jiwa meninggal lantaran kurang pasokan air yang layak. Mengerikan, padahal data sebelumnya, pada tahun 2003, kematian akibat kekurangan air tersebut hanya sebesar 2 juta jiwa. Wabah Diare yang menurut berbagai penelitian bisa ditekan hingga 45% hanya dengan mencuci tangan sebelum makan, ternyata tidak semudah itu. Karena faktanya, di Indonesia kasus penyakit diare masih tinggi, ada 1,2 juta kasus per tahun! Masuk akal memang. Bagaimana mau mencuci tangan jika air bersihnya tidak cukup tersedia.
Indonesia terancam krisis air sebenarnya sudah pernah diakui oleh pemerintah sejak tahun 2003. Saat itu, Kementerian PU pernah menghitung kebutuhan air di pulau Jawa misalnya, yakni sebesar 38 miliar meter kubik. Itu kebutuhannya, padahal ketersediaan airnya hanya 25 milyar meter kubik pertahun. Diperkirakan, pada tahun 2020, kebutuhannya akan meningkat menjadi 42 milyar meter kubik. Kebutuhannya pasti meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan jumlah penduduk. Sementara ketersediaan airnya justru semakin berkurang. Tahun 2020 itu bukan waktu yang lama, hanya tinggal 3 tahun lagi kita sampai di tahun tersebut!
Lho, katanya tadi Indonesia kaya akan ketersediaan air? Memang benar, negara kita dianugerahi sumber air yang melimpah ruah. Hanya persoalannya, negeri kita juga tidak pintar mengelola anugerah tersebut! Sampai detik ini kita masih saja kerepotan dengan sungai yang meluap ketika musim hujan, dan kekeringan pada musim kemarau. Kenapa air yang meluap itu tidak bisa dicadangkan untuk musim kemarau? Entah, yang pasti, faktanya sekarang seperti itu.
Di negara-negara maju, kesadaran akan perlunya bendungan untuk mengatur ketersediaan air sudah begitu besar. Dengan bendungan itu, mereka bisa mengatur pasokan air hingga musim kemarau tiba. Namun bicara soal bendungan, Indonesia memang tertinggal jauh sekali dibanding negara lain. Amerika saat ini tercatat memiliki hampir 3000 bendungan. India 1500 bendungan. Atau yang fantastis, China, yang memiliki 20.000 bendungan! Bayangkan jika menteri perairan China meresmikan satu bendungan setiap hari, maka dia harus menghabiskan waktu sekitar 55 tahun! Itu jika kegiatan dia sehari-hari hanya meresmikan bendungan saja.
Bagaimana dengan Indonesia? Saat ini negara yang penuh dengan anugerah Tuhan ini hanya memiliki sekitar 280 bendungan saja. Itupun sebagian di antaranya tidak terawat dengan baik. Ironis memang. Lalu kemana pemerintah kita? Para pengambil kebijakan di negeri ini? Tidak mungkin kita tidak mampu membangun bendungan banyak. Tidak punya modal? Bukankah kita punya kandungan emas terbesar di papua? Atau cadangan gas alam terbesar di Blok Natuna? Atau kekayaan laut yang melimpah ruah? Kemana semua itu?
Ah.. sudahlah. Tulisan ini tidak berniat mengarah ke sana. Lebih baik, kita menjadi bagian dari sebuah solusi, bukan menjadi bagian dari masalah!
Sebagai upaya menjaga ketersediaan air di sekitar kita, ada hal sederhana yang bisa kita lakukan bersama, yakni: Menanam Air Hujan! Ya, air hujan yang saat ini sudah mulai turun di tanah kita, harus ditanam, agar tersimpan di dalam tanah kita.
Penjelasan logisnya begini, kenapa kita sekarang mengalami krisis air? Kenapa sumur kita tidak lagi sanggup diandalkan saat kemarau? Salah satu masalahnya adalah, karena di dalam tanah kita, cadangan airnya sudah menipis.
Air hujan seharusnya tersimpan di dalam tanah yang kita pijak. Namun karena daya serap tanah terhadap air sudah semakin lemah, maka air hujan lebih banyak yang terus mengalir daripada terserap tanah. Rata-rata tanah kita saat ini hanya bisa menyerap sekitar 30% air hujan. Itu karena tanah kita sudah terlalu padat. Sisanya, 70% terus mengalir, dan melahirkan banjir di lokasi-lokasi rendah, atau longsor di daerah yang tanahnya labil, atau mengikis tanah hingga permukaannya semakin rendah, dan sisanya lari ke laut, menjadi air laut yang asin. Selain semakin padat, luasan tanah juga semakin berkurang karena tingginya aktifitas pembangunan.
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Setidaknya ada empat hal yang bisa kita lakukan, baik secara pribadi maupun bersama-sama. Ke-empat hal ini sangat mudah dilakukan. Selain biayanya murah, juga tidak perlu memerlukan perijinan dari pemerintah, atau tenaga ahli yang khusus.
Yang pertama adalah pembuatan biopori. Biopori adalah lubang silindris dengan diameter 10cm dan kedalaman sekitar 100cm. Lubang ini dibuat di titik-titik dimana air tergenang. Atau bisa juga membuat biopori pada parit yang sengaja kita buat. Fungsi dari biopori ini adalah agar air hujan bisa terserap lebih banyak oleh tanah yang kita pijak. Karena tanah yang padat, yang sulit menyerap air, diperkirakan hanya setebal 30-40 cm. Lebih dari kedalaman itu, tanah sudah bisa menyerap air dengan normal. Selain untuk menanam air hujan, biopori juga bisa difungsikan untuk penanganan sampah organik. Limbah atau sampai organik dari rumah kita bisa dimasukkan ke dalam biopori ini. Keuntungannya, selain bisa menangani sampah organik, limbah sampah organik juga bisa menggemburkan tanah kita. Pembuatan biopori ini bisa dilakukan di halaman rumah kita.
Yang kedua adalah membuat sumur resapan. Fungsi dari sumur resapan ini tidak jauh berbeda dengan biopori, hanya ukurannya lebih besar. Air dari talang genting rumah bisa dialirkan langsung ke dalam sumur ini. Diameter sumur maksimal 1,4 meter, dengan kedalaman sekitar 1,5 – 3 meter. Dinding sumur bisa dibuat dari bahan pasangan bata tanpa plester, hong, atau anyaman bambu. Sebagai filter, dapat digunakan kerikil dan ijuk pada dasar sumur resapan dan dindingnya. Pihak pemerintah sudah mengeluarkan pedoman teknis tentang pembuatan sumur resapan ini. Bahkan di Jakarta, salah satu perijinan IMB sudah mewajibkan pembuatan sumur resapan. Selain biopori, kita juga bisa membuat sendiri sumur resapan di sekitar rumah kita.
Yang ketiga adalah menanam pohon. Sepertinya bagian ini sudah tidak terlalu perlu untuk dijelaskan. Kita semua sudah cukup faham, betapa pentingnya pohon untuk konservasi tanah, air maupun udara. Semakin banyak menanam pohon, semakin baik.
Yang keempat adalah hemat air. Percayalah, tidak ada jaminan air yang bisa dikonsumsi manusia akan selalu mudah didapat. Karena itu, kita harus semakin bijak dalam menggunakan air. Jika saat ini banyak kampanye sosial yang menyerukan agar negara-negara tidak berperang karena berebut minyak, bukan mustahil esok lusa kita harus kampanye agar kita tidak berperang gara-gara berebut air. Sekarang, untuk mencegah terjadinya perang karena berebut minyak, banyak kampanye berbunyi: “No Blood for Oil!”. Jika kita tidak bisa menjaga air, bukan mustahil esok lusa anak cucu kita harus kampanye dengan bunyi: “No Blood for Water!”
Anda masih tidak percaya air bisa memicu konflik? Padahal saat ini saja sudah terjadi di beberapa tempat. Sebut saja misalnya konflik abadi Israel dan Palestina, yang salah satunya ternyata sama-sama memperjuangkan penguasaan atas sumber air. Atau air di Danau Wular yang hampir memicu peperangan antara India, Pakistan dan China. Yang dekat dengan kita contoh termudah adalah konflik mata air Cipaniis. Secara geografis Cipaniis memang berada di wilayah Kabupaten Kuningan. Namun meski begitu, sejak tahun 1830 konon sebagian masyarakat Cirebon sudah memanfaatkan air yang berasal dari mata air Cipaniis. Konflik mulai terjadi ketika kebijakan otonomi daerah diterapkan. Ketika itu pemerintah Kabupaten Kuningan meminta kompensasi kepada Cirebon karena menggunakan air dari wilayahnya, tahun 2008 lalu.
Semakin tahun potensi konflik ini semakin besar, terlebih jika dihubungkan dengan berbagai faktor lain, misalnya laju pertumbuhan penduduk. Di Indonesia, laju pertumbuhan penduduk berkisar di angka 1,5% per tahun. Jika jumlah penduduk Indonesia diasumsikan sebesar 250 juta jiwa, itu artinya ada sekitar 3,75 juta mulut baru per tahun yang harus dipenuhi rasa dahaganya! Dan tentu saja, sebagian di antaranya adalah anak dan cucu kita.
Kini, sudah saatnya kita lebih peduli pada alam, khususnya air. Cukuplah kita belajar dari apa yang pernah dialami kota Stockholm, Swedia. Limapuluh tahun silam, air di kota tersebut tidak sejernih hari ini. Hingga kemudian wabah kolera merajalela di hampir seluruh pelosok kota, dan menewaskan sebagian besar penduduknya. Sejak itu, mereka belajar untuk bijak terhadap air.
Berbagai peraturan dikeluarkan untuk menjaga ketersediaan dan kualitas air. Tentu saja dengan pengawalan yang ketat dalam pelaksanaannya. Dan hari ini, mereka berhasil menunjukkan bahwa mereka bisa memperlakukan air dengan bijak. Terbanglah ke Stockholm ketika musim panas, kita bisa menyaksikan langsung penduduk yang beraktifitas riang di Danau Malaren. Itu letaknya di tengah kota, tapi airnya jernih dan alami seperti di pegunungan. Air di setiap kran di kota itu juga bisa langsung diminum karena sudah melalui proses filtrasi yang maksimal.
Tentunya, kita tidak ingin alam menegur kita seperti apa yang pernah dialami penduduk Stockholm. Kita tidak harus mengalami sebuah kehancuran yang fatal untuk melakukan sebuah perbaikan. Saatnya kita peduli pada alam. Mari kita wariskan bumi yang cukup nyaman untuk kehidupan anak cucu yang kita cintai. Apa gunanya mewariskan harta pada anak cucu kita, jika mereka harus hidup di tengah alam yang membuat hidup mereka gelisah.
Ayo tanam air hujan sekarang, untuk bekal kemarau yang akan datang!
[Abu Ayyub]
Salam salut untuk rekan-rekan SABUGA (Sangga Buana Galuh)
Tetaplah bergerak, bahkan meski tak ada seorang pun yang tergerak!