Waspada, DIA Itu Pencemburu!
wartapriangan.com, INSPIRATIF. Sebagian besar dari kita pasti sudah pernah merasakan cemburu. Ada rasa kehilangan yang menyakitkan, membuat hati dan fikir kita resah. Sesuatu yang seharusnya milik kita, terasa lepas dan berpindah. Lalu hati terasa ngilu, ketika menyaksikan milik kita justru bukan bersama kita.
Urusan cemburu bukan hanya urusan cinta antara manusia, bukan hanya fenomena yang menjangkiti manusia berusia merah jambu. Urusan cemburu juga hinggap pada selain manusia. Ada kucing yang cemburu, ketika tuannya membeli hewan peliharaan baru. Kucing ini bahkan sampai sakit, karena diterjang rasa cemburu. Ada anak yang cemburu, ketika ayahnya memiliki keturunan lain yang tak seibu. Tak sedikit cerita, anak dalam situasi ini kemudian memilih berontak, demi mendapatkan kembali perhatian ayahnya.
Ada pengalaman unik tentang cemburu dari pasangan pengantin baru. Januari tahun 2001 mereka menikah, dan di penghujung tahun yang sama, mereka dikarunia seorang putera. Rasa bahagia yang tak terkira menyelimuti pasangan pengantin muda ini. Terlebih ayahnya. Semua orang yang mengenalnya bisa melihat bagaimana kebahagian sang ayah. Rasa sayang itu ia tunjukkan di setiap saat, di manapun ia berada. Tak hanya di depan kerabat dan tetangganya, tapi juga dii setiap ruku dan sujud, di setiap kesempatan bermunajat, ia selalu menyebut nama anaknya. Singkatnya, anak laki-lakinya adalah segalanya.
Tanpa sadar, sikap sang ayah itu bukan mustahil menyulut cemburu pihak lain. Ia terlalu bahagia dan menyayangi darah dagingnya, hingga lupa masih ada pihak-pihak lain yang juga berhak atas cinta dan perhatiannya. Rasa cinta yang berlebihan pada anaknya, melebihi dari apapun yang ada di jagat ini. Lalu, tanpa disangka-sangka, ayah dan anak itu tiba-tiba saja harus berpisah. Sebuah konflik bisnis membuat usaha sang ayah hancur, lalu berdampak pada kisruh di internal keluarga. Pasangan muda ini pun berpisah.
Wajar, ketika berpisah dengan buah hatinya yang baru berusia empat tahun itu, sang ayah mengalami stres berat. Di usia lagi lucu-lucunya, ia justru harus kehilangan anaknya. Hampir saja dia gila. Dia memilih pergi dari kampung halamannya. Dia berusaha pergi sejauh yang dia bisa. Satu tujuan dia, ingin lupa pada anaknya, karena hanya rasa sakit yang ia rasakan ketika harus mengingatnya.
Waktu berlalu, tanpa terasa delapan tahun sudah mereka terpisah. Sang ayah masih saja sakit dan menangis, meski air matanya sudah tidak sederas dulu. Hingga satu saat, telepon genggam miliknya berdering. Sebuah nomor tak dikenal terlihat memanggil. Tanpa ragu, dia pun mengangkat telepon tersebut.
“Assalamu’alaikum, Abi sehat?”
“Ini siapa?” tanya si ayah.
“Saya anak abi,” jawab suara di seberang telepon, seraya menyebutkan sebuah nama yang pernah diberikan sang ayah padanya.
Tiba-tiba saja dunia terasa seperti pecah. Sang ayah tak mampu berkata apa-apa. Tangisnya menjadi sejadi-jadinya. Tangis yang bermakna bahagia dan kerinduan yang membuncah. Tak lama lemudian tubuhnya tersungkur sujud, dengan telepon genggam yang masih berada tepat di samping telinganya. Ia tak pernah menyangka, buah hatinya akan kembali.
Sejak telepon hari itu, sang ayah dan anak mulai berinteraksi lagi. Meski masih terpaut jarak, tapi komunikasi mereka cukup hangat. Sang ayah kemudian mengetahui bagaimana perkembangan anaknya setelah delapan tahun tidak bertemu. Ternyata, sejak kecil anaknya sudah sangat terbiasa dengan tahajud, terlebih sholat fardlu. Ia juga terbiasa membaca quran setiap hari. Dan sejak menginjak usia SMP, putera yang selalu ia rindukan itu bahkan sudah mulai belajar shaum Daud, sebuah kebiasaan yang masih jarang dilakukan oleh anak seusia dia.
Setelah perjalanan panjang yang penuh kepiluan itu, sang ayah sering berbagi hikmah dengan teman-temannya.
“Ketika kita teramat mencintai sesuatu hingga melupakan-Nya, bersiaplah untuk kehilangan, karena sesungguhnya Alloh itu Pencemburu”. [Abu Ayyub]