Ini Komentar Pengamat Politik tentang Jargon Asli Ciamis
wartapriangan.com, PILKADA CIAMIS 2018. Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Ciamis akan digelar pada tahun 2018, akan tetapi persaingan bakal calon Bupati Ciamis dan Wakil Bupati Ciamis sudah mulai menghangat. Pasangan calon pun sudah mengerucut ke dua pasang yaitu Iing Syam Arifin-Oih Burhanudin dan herdiat-Yana D Putra.
Untuk meraih simpati masyarakat, kedua pasangan calon ini pun gencar melakukan sosialisasi ke msayarakat. Di antaranya dengan memasang gambar calon, hingga membuat jargon masing-masing pasangan
Menyikapi fenomena tersebut, akademisi yang juga pengamat politik, Dr. H. Agus Dedi, M.Si, berkomentar. “Dalam perhelatan Pilkada di Ciamis dari pengamatan saya akan terjadi politik identitas, karena dari slogan-slogan terpampang ada kata-kata saya orang Ciamis, asli pituin urang Ciamis,” ungkap Agus Dedi di sela-sela kegiatan sosialisasi pemilu di Hotel Tyara Kabupaten Ciamis.
“Saya berharap siapa pun yang terpilih nanti, orang yang memiliki visi dan misi yang sudah jelas bukan hanya tulisan, karena ke depan Ciamis harus lebih maju dan mampu bersaing dengan wilayah lain,” lanjut pria yang berprofesi sebagai dosen FISIP Universitas Galuh tersebut.
Lain halnya yang dijelaskan Mukhlis, salah seorang warga Ciamis Utara. “Kita jangan terpaku oleh asal dari derah mana asli atau bukan orang Ciamis yang penting dia sudah bekerja demi kemajuan Ciamis”.
“Jangan sampai masyarakat tutup mata ngaku orang Camis padahal kelahiran luar Kabupaten Ciamis,” tegas Mukhlis.
“Kalau bagi saya karena negara kita adalah negara demokrasi, mau orang mana pun yang menjadi bupati gak jadi persoalan. Bagi saya, yang penting memiliki program yang jelas dan bisa membangun Ciamis ke depan lebih baik,” tutur Mukhlis.
Terkait berkembangnya isu putra daerah dalam Pilkada Ciamis 2018 ini, Agus Dedi mengemukakan, jika dilihat politik yang berkembang di Ciamis ada tiga, yakni budaya parokial, budaya kaula dan budaya partisipan. Budaya parokial ialah masyarakat yang punya pikiran picik gimana caranya mengusung kandidat tanpa memikirkan program jumlah budaya tersebut sekitar 80%.
Selanjutnya budaya kaula kisaran 13 sampai 14%. Golongan ini adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang politik tapi menyadari belum bisa merubah sistem, hanya ikut ikutan cenderung memanfaatkan moment,
Ketiga yaitu budaya partisipan, masyarakatnya sudah terbuka menerima segala sesuatu dari luar dan menerapkannya dalam kehidupan apabila sesuai dengan norma-norma mereka. masyarakat yang seperti ini bisa dengan mudah diarahkan untuk mempunyai kecondongan terhadap politik tertentu, penyelenggaraan pemerintahan, dan semua aspek negara di dalamnya. (Dena A. Kurnia/WP)