Membangun Kesadaran budaya Ekonomi di Kota Istimewa

148

Usai makan mie ayam super lezat itu, saya pun memandang hingga ujung jalan Letjen Suwarto. Sepi tak ada aktifitas warga pada malam hari, mungkin karena hujan sehingga tidak ada kegiatan apa – apa dikawasan ekonomi ini. Entah mendapat ide dari mana, dalam pikiran saya terbayang Jalan Letjen Suwarto ini diibaratkan seperti teras Cihampelas Bandung. Selain pusat perdagangan, jajanan serta oleh – oleh, kawasan ini bisa jadi areal kreatifitas anak muda serta UMKM jajanan kaki lima seperti di Solo. Dengan dibuatkan kontruksi baja dibangun sebuah taman gantung, saya pun bermimpi kotaku ini menjadi pusat penyangga perekonomian dua provinsi. Apalagi secara geografis sudah mendukung.

Diukur dari Statsion KA Banjar, berjalan kurang dari 1 km, bila ada aktiftas orang yang turun di Banjar bisa bermain dahulu ke kawasan bisnis ini, apalagi di kawasan ini pun terdapat beberapa hotel dan penginapan serta ketersediaan Bank juga mesin ATM juga rumah makan, saya rasa ini bisa menjadi keunggulan untuk Kota Banjar.

Kemudian, di kawasan Letjen Suwarto pun telah terbangun sebuah budaya masyarakat Banjar, banyak jargon yang mengatakan “Ngajual Kamana Wae, Meli Mah Ti Urang Banjar” (Menjual kemana saja, tetap belanja dari orang Banjar). Kalimat ini bisa jadi spirit membangun kesadaran budaya ekonomi yang berbasih kearifan lokal sebagai daya tarik dan unggulan Banjar. Apalagi saat ini PT. KAI sudah meluncurkan KA Pangandaran sebagai misi untuk peningkatan angka kunjungan pariwisata Pangandaran. Karena, Banjar ini istimewa saya rasa akan sangat relevan apabila optimalisasi kawasan bisnis Letjen Suwarto terus dikembangan yang dapat dimanfaatkan dan dirasakan oleh warga Banjar.

Saya sempat duduk terdiam di tengah – tengah sudut ruang jalan Letjen Suwarto dan membayangkan bagaimana terciptanya suatu akitfitas massal ruang – ruang kreatif, ruang diskusi mahasiswa, komunitas pecinta seni budaya bisa menuangkan gagasanya di kawasan ini. Akan terjadi suatu peradaban baru di Kota Banjar yang merangkum berbagai aspek kepentingan terutama ruang kreatif para kaum milenial. Syaratnya satu, menciptakan rasa nyaman dan aman dengan fasilitas lengkap serta rencana strategis pembangunan suprastrukturnya. Bagaimana orang bisa nyaman dan aman dan ingin tinggal di Banjar meski mereka hanya tinggal 4 sampai dengan 6 tahun lamanya. Perlu adanya peningkatan lembaga pendidikan tinggi di Banjar yang bisa menarik para kaum intelektual yang menimba ilmu di Banjar. Saya rasa ini tidak mustahil untuk diwujudkan. Angin malam pun semakin menusuk menyelusup kedalam tulang tubuh. Saya pun pulang dengan segudang harapan besar untuk kota kelahiran saya.

Syarif Hidayat, Wakil Ketua Umum Dewan Kebudayaan Kota Banjar, Jawa Barat.

Syarif Hidayat

(Penulis merupakan Pendiri Media Online Warta Priangan)

Berita lainnya

Beri komentar

Your email address will not be published.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses