Rekonsensus Syariah
wartapriangan.com, BERITA OPINI. Menurut saya, artikel Denny JA berjudul “NKRI Bersyariah Atau Ruang Publik Yang Manusiawi?” merupakan provokasi akademik yang lucu sekaligus menarik untuk didiskusikan. Saya memiliki tiga alasan utama mengapa memberikan penilaian seperti itu. Pertama, judul artikel itu seolah memberikan dua opsi setara antara “NKRI Bersyariah” dengan pilihan “Ruang Publik Yang Manusiawi” namun dalam uraiannya justru sebaliknya, penulis seakan-akan memberikan penghakiman (Judgment) sepihak bahwa proposal “NKRI Bersyariah” bukan merupakan pilihan yang masuk akal.
Kedua, Denny JA dengan uraian artikel tersebut telah terlanjur membuat dikotomi yang diametral “NKRI Bersyariah” versus “Ruang Publik Yang Manusiawi”. Seakan-akan keduanya merupakan kutub utara dan kutub selatan yang saling berjauhan atau bahkan saling bertentangan satu sama lain. Tidakkah terpikirkan olehnya bahwa ada juga ruang kemungkinan bagi keduanya untuk “dikawinkan” sehingga, misalnya, menjadi konsepsi NKRI Bersyariah yang mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan universal sehingga kondisi ini mendorong bagi terciptanya ruang publik yang manusiawi.
Ketiga, artikel ini menarik dan seakan begitu absah karena didukung dengan data-data ilmiah. Denny JA misalnya menguraikan paparan dan temuan Islamicity Index dengan komparasi World Happiness Index yang intinya menyimpulkan bahwa tanpa harus memakai label syariah, negara-negara Barat dapat lebih maju dengan implementasi nilai-nilai kemanusiaan universal yang juga merupakan nilai-nilai dasar Islami juga. Pada titik ini, menurut saya Denny JA juga terperosok pada dikotomi yang keliru antara label dan substansi. Padahal, menurut hemat saya keduanya penting. Kemasan dan isi sama-sama pentingnya dan keduanya tidak perlu dipertentangkan secara diametral.
Mengenai data-data yang disampaikan juga menurut saya terkesan sepihak dengan hanya memunculkan data-data yang memang mendukung argumen dan apologinya saja. Padahal ada banyak data lain dengan perspektif beragam dan tentu dengan konklusi yang berbeda pula. Sebagai contoh, misalnya data-data mengenai negeri paling kaya dan makmur versi resmi World Bank (2017) dimana sejumlah negara “bersyariah” masuk di dalamnya, seperti Qatar, Brunei Darussalam, Uni Emirat Arab, maupun Saudi Arabia.
Kelucuan lain yang ditulis Denny JA adalah saat mendeskripsikan upaya dan perjuangan Habib Rizieq dalam mempromosikan “NKRI Bersyariah” yang menurutnya dilakukan secara massif dalam berbagai kesempatan. “Bagaimana sikap kita atas NKRI Bersyariah yang berulang ulang diperjuangkan oleh Habib Rizieq? Ketika ia mendukung capres Prabowo, tahun 2018, sekali lagi Habib Rizieq menyatakan perlunya NKRI Bersyariah. Ketika memulai aksi 212 tahun 2016, isu NKRI Bersyariah sudah digaungkannya. Setahun kemudian, dalam Reuni 212 tahun 2017, perlunya Indonesia menjadi NKRI Bersyariah kembali diperkuatnya … Apa yang pendiri bangsa rumuskan sebagai fondasi bangsa? Itu adalah Pancasila, bukan NKRI Bersyariah!” tulis Denny JA.
Rekonsensus
Apabila kita mencermati sejarah perjalanan bangsa secara jeli dan teliti, tampak sebenarnya bahwa yang menjadi dasar pembentukan Indonesia merdeka pada konsensus awalnya adalah Piagam Jakarta dimana Syariat Islam secara eksplisit disebut di dalamnya. Dalam persidangan BPUPKI yang dimulai sejak tanggal 29 April 1945 memang banyak dinamika yang muncul terkait usulan Dasar Negara yang akan dipilih. Namun dari diskusi panjang para pendiri bangsa yang terhimpun dalam Tim Sembilan itu akhirnya mengerucut pada kata mufakat. Sembilan orang Tim Perumus Naskah Preambule sudah sepakat dengan bulat atas isi Naskah Piagam Jakarta yang di dalamnya secara jelas dan tegas memuat kalimat “… dengan menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluknya”. Naskah ini sudah ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945 oleh semua anggota Tim Perumus, termasuk oleh Mr. AA. Maramis, salah seorang anggota Tim Sembilan yang non-Muslim.
Sayangnya justru konsensus nasional yang sudah disepakati secara bersama-sama itu mendapat pengingkaran dari sebagian masyarakat Indonesia Timur. Konon, ada desas-desus bernada ancaman bahwa sebagian dari mereka akan memisahkan diri dari NKRI jika Piagam Jakarta dijadikan dasar negara. Kebesaran jiwa Mohammad Hatta dan tokoh Muslim waktu itu akhirnya yang menuntun kalangan nasionalis Muslim mengalah untuk kemudian menyepakati konsensus baru dengan menghilangkan tujuh kata dalam pasal pertama Pancasila sebagaimana termuat dalam Piagam Jakarta tersebut.
Dalam hubungan itu, saya memahami proposal “NKRI Bersyariah” yang ditawarkan Habib Rizieq adalah semacam tawaran untuk melakukan “re-konsensus” untuk membuka kembali kemungkinan pengejawantahan semangat Piagam Jakarta sebagai konsensus awal yang menjiwai pendirian republik ini. Dalam iklim demokrasi, saya kira tawaran seperti ini sah-sah saja dan bukan sesuatu yang tabu. Prasyaratnya barangkali dua hal saja. Pertama, bagaimana proposal ini ditawarkan secara legal dan damai, tanpa unsur pemaksaan dan kekerasan. Kedua, saya sepakat dengan apa yang diusulkan Denny JA bahwa proposal “NKRI Bersyariah” perlu diturunkan dalam level praksis-implementatif. Entah dalam model indeks atau parameter tertentu yang lebih konkret dan terukur.
Untuk catatan yang pertama, kita tentu telah menyaksikan bahwa proposal “NKRI Bersyariah” telah disampaikan Habib Rizieq bersama para penggagas lainnya dalam berbagai kesempatan secara santun. Demontrasi dan unjuk rasa dengan puluhan ribu masa di Jakarta dan di sejumlah tempat lainnya dilaksanakan secara damai dan bahkan mendapat dukungan politis dari sejumlah partai nasional secara legal. Sementara untuk catatan yang kedua, meskipun saya menyepakati usulan Denny JA mengenai perlunya menurunkan konsepsi syariah pada level implementataif, tapi tentu saja tanggung jawab ini tidak semestinya dialamatkan pada seorang Habib Riezeq semata. Kalau memang kita berharap akan terciptanya ruang publik yang manusiawi dan kita meyakini nilai-nilai Islami juga sangat kompatibel untuk itu, maka sudah selayaknya hal ini menjadi tanggung jawab yang harus dipikul secara bersama oleh kita semua sebagai sesama anak bangsa.*
Oleh: Syarif Hidayat
Pendiri wartapriangan.com
Alumni Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) Angkatan II
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jabar