Hamparan Pohon Dukuh di Pangandaran Ini Konon Ditanam Oleh Seorang Wali
wartapriangan.com, BERITA PANGANDARAN. Hamparan perkebunan tanah adat yang berlokasi di Dusun Rantobatang, Desa Mekarsari, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Pangandaran menyimpan sejarah perjalanan seorang wali yang menyebarkan agama Islam.
Camat Kecamatan Cimerak, Kabupaten Pangandaran Agus mengatakan, disejumlah daerah dari mulai Kecamatan Langkaplancar, Kecamatan Cigugur hingga Kecamatan Cimerak terdapat pohon dukuh yang usianya ratusan tahun.
“Rata-rata ukuran lingkaran diameter pohon dukuh 3 meter dengan ketinggian 50 meter,” kata Agus.
Berdasarkan keterangan warga yang disampaikan secara turun temurun, pohon dukuh tersebut ditanam oleh salah satu wali saat menyebarkan agama Islam.
“Berdasarkan sejarah nama wali itu bernama Arya Wangi yang melakukan penyebaran agama Islam pada tahun 1300 Masehi,” tambah Agus.
Agus memaparkan, wali tersebut merupakan salah satu wali yang berasal dari daerah Pamijahan. Penanaman pohon dukuh tersebut dilakukan untuk melindungi alam agar tidak terjadi erosi dan longsor dan sebagai persediaan makanan masyarakat.
“Masing-masing pohon dukuh yang berada di areal hamparan tanah adat seeluas kurang lebih 20 hektare itu ada pemiliknya dan kepemilikannya diwariskan secara turun temurun ke anak cucunya,” papar Agus.
Status kepemilikan pun tidak bisa diperjual belikan ke orang lain lantaran jika melanggar ketentuan adat tersebut masyarakat masih meyakini kalimat pamali atau kuwalat.
“Jika saat musim pohon dukuh sedang berbuah masyarakat di Desa tersebut seolah memiliki rezeki yang melimpah lantaran hasil panen pohon dukuh bisa dijual keberbagai daerah,” jelasnya.
Sementara Kepala Bidang Pemberdayaan Lembaga Adat dan Masyarakat Hukum Adat Dinas Sosial Pemberdayaan Masyarakat Desa Erik Krisnayudha mengatakan, tradisi budaya yang dianut oleh penduduk di Dusun Rantobatang, Desa Mekarsari, Kecamatan Cimerak harus dipertahankan.
“Tradisi tersebut termasuk tradisi lama yang hingga saat ini masih tetap bertahan karena selain tidak berani menjual belikan pohon, masyarakat juga tidak berani menebang pohon dukuh secara sembarangan,” kata Erik.
Secara ilmiah tradisi yang dianut masyarakat setempat sebagai salah satu upaya pencegahan erosi dan longsor, selain itu hasil panennya sangat bermanfaat untuk perekonomian masyarakat.
“Musim panen biasanya terjadi pada bulan tertentu sejak bulan Maret, April hingga Mei,” tambah Erik.
Erik berharap lokasi tersebut bisa dikembangkan sebagai salah satu kampung adat atau kampung budaya dan bisa dipromosikan sebagai objek wisata edukasi. (Iwan Mulyadi/WP)