Kisah Getir Pemulung Cilik di Tasikmalaya

116

wartapriangan.com, BERITA TASIKMALAYA. Hembusan angin malam di Kota Santri selalu menjadi teman setia Sahrul, Salsa dan Senja. Kakak beradik ini memang sudah terbiasa menyusuri jalanan HZ Mustofa, melewati satu per satu emper toko mewah yang berada di kanan kiri jalan. Setiap malam, ketiga anak ini melintasi jalan itu. Sahrul dan Salsa sesekali bergantian mendorong sebuah gerobak yang warnanya sudah usang.

Tong sampah menjadi tempat yang paling mereka cari. Dan, mereka girang sekali ketika menemukan barang-barang atau sampah berbahan plastik. Mereka pungut, mereka bersihkan sekedarnya, untuk kemudian disimpan pelan-pelan dalam gerobak yang mereka dorong. Ya, harus pelan-pelan, karena dalam gerobak itu biasanya ada Senja tertidur lelap, si bungsu yang usianya belum sampai dua tahun.

Kaki-kaki mungil tak beralas itu terus melangkah, menghabiskan malam hingga ujung Jalan Siliwangi Tasikmalaya. Kaki mungil Sahrul dan Salsa tak berhenti berjalan, di saat kebanyakan anak seusia mereka tengah tertidur lelap di atas kasur empuk.

“Botol atau sampah plastik, kawat, besi,” terang Sahrul saat ditanyai Wartawan, Rabu dini hari (01/11/2017). Bagi para pemulung cilik di Tasikmalaya ini, sampah-sampah tersebut ibarat penyambung nyawa. Dari barang bekas itulah mereka bisa makan.

Nama Sahrul dan Salsa sebenarnya pernah tercatat sebagai siswa di SD Negeri Sindangasih, Cigantang, Mangkubmi, Kota Tasikmalaya. Namun tekanan ekonomi yang sangat mendesak membuat kedua anak kecil ini terpaksa putus sekolah, dan memilih jadi pemulung cilik, untuk membantu kebutuhan hidup yang tak bisa dicukupi kedua orangtuanya yang juga berprofesi sebagai pemulung. Mungkin, jika tak ada yang peduli, si bungsu Senja pun akan menjadi penerus orang tua dan kedua kakaknya. Beberapa orang guru di sekolah tersebut pernah berusaha mempertahankan mereka untuk tetap duduk di bangku sekolah, tapi gagal.

“Sekitar Rp. 20 ribu sampai Rp. 40 ribu,” terang Sahrul, saat ditanya berapa besar penghasilan harian mereka. Barang-barang bekas hasil buruan mereka biasanya ditampung oleh pengepul rongsok. Lalu, uang yang mereka dapat, mereka berikan kepada orang tuanya untuk membantu biaya hidup.

Lalu kenapa mereka memilih malam hari? Karena keluarga pemulung ini merasa lebih leluasa bekerja, memeriksa setiap tong sampah dan memungutinya. Mereka juga faham, kehadiran fisik mereka sangat mungkin mengganggu kenyamanan manusia lain.

“Kalau siang, suka diusir-usir,” jawab Sahrul. (Andri Ahmad Fauzi/WP)

 

Berita lainnya

Beri komentar

Your email address will not be published.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.