Kisah Cinta Abah Maman, Penjual Sapu yang Mengidap Stroke di Kota Banjar
wartapriangan.com, BERITA CIAMIS. Keriput di wajahnya jelas menunjukkan usianya tak muda lagi, 65 tahun. Usia yang pantas untuk istirahat di rumah, menghabiskan hari dengan berbagi cerita bersama cucu dan cicit. Namun tidak demikian dengan Abah Maman. Penjual sapu keliling di Kota Banjar Jawa Barat ini masih harus berjibaku di usia senjanya. Meski tubuhnya sudah ringkih, tapi semangatnya masih tetap gigih. Padahal, tubuhnya tak sesempurna kebanyakan kita. Fisik tangan kirinya tidak lengkap. Dan, sudah sekitar lima tahun tubuhnya diserang penyakit stroke.
“Abah tinggal sama istri, berdua saja di rumah. Kalau Abah tidak jualan, darimana istri Abah makan,” jawab Abah Maman seraya melempar pandangannya jauh entah kemana. Mungkin sambil mengingat wajah istri tercintanya di rumah.
Abah Maman adalah warga Desa Kiarapayung, RT 02/RW 07, Kecamatan Rancah, Kabupaten Ciamis. Usai menyantap sarapan yang disediakan istrinya, Abah Maman biasa pergi berdagang. Mencari satu-dua lembar uang ribuan untuk sekedar mencukupi kebutuhan makan. Barang yang dia jual bukan barang yang sulit didapat. Ia hanya penjual sapu dan keset keliling.
Dari rumahnya di Rancah Ciamis, Abah Maman menuju Kota Banjar dengan menggunakan angkutan umum. Tidak setiap hari dia pulang ke rumah. Maklum, penghasilannya tidak memungkinkan jika dia harus selalu pulang pergi ke rumah.
“Wah bisa-bisa habis di ongkos kalau setiap hari pulang, nanti nggak ada yang bisa dikasih ke istri. Abah kalau jualan yang 2-3 hari. Untuk makan pertama dikasih bekal oleh istri dari rumah. Besoknya cukup makan sekali sekitar jam 10, nanti makan lagi di rumah, menjelang maghrib,” tuturnya, lagi-lagi Abah Maman menyebut istrinya.
Abah sayang banget sama istri Abah, ya? Reporter Warta Priangan akhirnya terdorong untuk melontarkan pertanyaan itu.
“Ya iya lah. Abah tahu diri, selama hidup abah tidak bisa memberikan harta yang banyak. Tapi istri abah setia, mau ngurus Abah. Puluhan tahun dia masak dan mencuci baju Abah. Bahkan ketika Abah stroke lima tahun lalu, istri Abah setia mengurus Abah,” lagi-lagi dengan pandangan yang menerawang.
Abah Maman juga bercerita, kalau rumahnya di kampung bukan rumah mewah. Lebih pantas disebut gubuk. Atapnya kerap bocor, beberapa tiangnya sudah lapuk dimakan usia. Tapi dia mengaku bahagia, hidup bersama istri tercinta yang mau menerima dia apa adanya.
“Sebenarnya Abah sudah lama disuruh berhenti dagang sama istri. Tapi mau kerja apa di kampung. Sawah tidak punya. Yang nyuruh kerja juga tidak ada. Pernah istri jualan gorengan keliling, Abah tidak tega. Masa istri bekerja, Abahnya diam.”
Penghasilan Abah Maman tidak tentu, berkisar RP. 15 ribu – Rp. 50 ribu. Ia terpaksa harus menginap di emperan Terminal Kota Banjar, agar bisa membawa uang saat pulang. Setiap hari, ia menyusuri jalanan Kota Banjar. Menjajakan sapu dan keset dari rumah ke rumah, dari kantor ke kantor. Untuk mendapatkan penghasilan, tak kurang dari 10 kilometer harus ia tapaki.
“Abah suka tidur di mana saja, seringnya di Terminal Banjar, pakai kardus juga nyenyak. Kalau tidak pulang, bisa bawa pulang Rp. 50 ribu kan lumayan. Tapi pernah juga tidak pulang malah tidak dapat sepeserpun,” terang Abah Maman.
Dari istri tercintanya, sebenarnya Abah Maman dikarunia tiga orang putera. Namun keduanya sudah berumah tangga dan tinggal di ibu kota. Menurutnya, kondisi hidup mereka juga sama saja.
“Abah juga tahu hidup anak Abah pas-pasan, kasihan. Lagi pula, untuk kebutuhan istri Abah kan kewajiban Abah. Selama Abah masih bisa berdiri, Abah tidak akan berhenti berusaha,” tuturnya. (Reza Fajrin/WP)