Ribuan Santri Di Tasikmalaya Dapatkan Rekor Muri Melalui Membuat Nasi Liwet
wartapriangan.com, BERITA TASIKMALAYA. Dalam rangka menyambut Hari Santri Nasional ke-4, ribuan santri dan santriwati menyambutnya dengan meriah. Bertempat Di Lapangan Setda Kabupaten Tasikmalaya, para santri dan santriwati datang dari berbagai Pondok Pesantren di Kabupaten Tasikmalaya. Sabtu, (20/10/2018).
Sebanyak 2413 santri peserta dari perwakilan 1001 pesantren di Tasikmalaya mengikuti lomba ngaliwet. Kegiatan itu tercatat dalam rekor muri dunia sebagai lomba liwet dengan peserta dan kastrol atau tempat menanak nasi liwet terbanyak.
Salah satu santri, Yuyus Saeful Rohman (22) kepada Warta Priangan mengatakan, dirinya sudah terbiasa membuat nasi liwet dan tak canggung lagi dengan perlombaan seperti ini.
“Lomba ngaliwet dalam rangka hari santri nasional ini menu biasa di pesantren. Saya sudah sebelas tahun di pesantren dan memang saya sudah terbiasa makan nasi liwet,” ujarnya.
Nyatanya, meski terik panas dan kepulan asap membuat bola mata pedih. Para santri lomba ngaliwet itu tetap bersuka cita dalam memeriahkan acara menyambut Hari Santri Nasional.
Sementara itu, panitia lomba liwet santri KH. Anwar Nasori menyebutkan, dalam rangka hari santri
nasional ini ada beberapa kegiatan yang dilakukan. Diantaranya ada lomba nasi liwet, membaca kitab santri, dan beberapa kegiatan lainnya.
“Alhamdulillah perlombaan membuat nasi liwet dalam rangka menyambut Hari Santri Nasional yang diikuti ribuan santri mendapatkan Rekor Muri,” katanya.
Dalam cara tersebut, hadir juga Wakil Bupati Tasikmalaya Ade Sugianto, Manager Muri Triyono, serta beberapa tokoh ulama dan beberapa pejabat pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya.
Pada kesempatannya, Triyono, Manager Muri Indonesia menuturkan, acara menanak nasi liwet ini sesuatu hal yang sangat luar biasa. Para peserta yang mengikuti perlombaan membuat nasi liwet oleh santri ini sangat luar biasa. Muri ini adalah apresiasi untuk para santri dan acara yang sedang diadakan kali ini,” paparnya.
Uniknya, dari lomba liwet massal tersebut, mereka tidak menggunakan kompor atau gas, namun menggunakan kayu bakar yang di atasnya dipasang bambu yang memanjang dengan batu sebagai penyangganya. Hal itu menjadi ciri khas liwet tradisional khas pesantren.
(Andri Ahmad Fauzi/WP)