PANGLIMA SANTRI
Dini hari, jam 04.45.
Semburat fajar lagi-lagi menghadirkan gundah di hatiku. Aku harus kembali melalui bentangan hari yang sama. Seperti kemarin-kemarin. Menyendiri, dan selalu rikuh saat bertemu dengan santriwati yang sebaya. Kebanyakan sahabatku sudah jadi ibu rumah tangga. Sementara Aku, masih harus bersabar menunggu Ruzhan. Terlebih hari ini, Aku genap berusia 26 tahun.
“Limar, sabar. Beri saya waktu sebentar lagi. Saya ingin benar-benar siap menghadapi peperangan itu.”
Itu jawaban Ruzhan minggu lalu. Masih sama seperti jawaban sebelumnya. Aku tak merasa cintanya setengah hati. Aku yakin dia hanya khawatir, jika sudah menikah tak bisa maksimal menempa diri. Dia ingin benar-benar siap saat harus berhadapan dengan situasi terburuk.
Sejak kecil, Aku dan Ruzhan tinggal di sebuah komplek pesantren yang sama, di sebuah desa pesisir pantai yang terhubung langsung dengan laut lepas, jauh dari pusat pemerintahan. Aku anak pimpinan pondok pesantren. Ruzhan pun putra seorang tokoh agama di daerahku. Tapi sejak masih balita ia sudah berstatus yatim. Dan oleh ibunya, Ruzhan kecil kemudian dititipkan di pondok pesantren ayahku.
“Kita ditakdirkan Tuhan untuk menjaga pesisir ini. Dan kita tidak boleh kalah!”
Kalimat Itu kerap diucapkan Ruzhan saat berbicara di depan puluhan santri baru.
Sudah hampir satu abad pesantren ini berdiri. Sepanjang waktu itu, para santri di pesisir ini kerap terlibat bentrok fisik dengan para pendatang dari laut lepas. Sepanjang waktu itu pula, sudah tak terhitung jumlah korban jiwa dari kedua pihak. Salah satunya ayah Ruzhan, yang menghembuskan nafas terakhir usai memimpin laskar santri.
Di sini, kami harus berhadapan dengan kartel kelas kakap. Mereka selalu berusaha menyelundupkan narkoba ke berbagai negara. Para mafia barang haram ini kerap datang dengan jumlah awak yang banyak. Karena mereka faham betul, laut lepas yang mereka arungi, akan berujung di pantai yang dijaga laskar santri.
“Mereka sangat serius untuk jadi penghuni neraka. Lalu apa alasan kita untuk takut menjadi ahli syurga?!”
Itu kata Ruzhan. Aku mendengarnya tadi sore selepas ashar. Ia berusaha membakar semangat puluhan santri lainnya, sebelum kemudian berangkat ke pesisir. Ruzhan akan menghabiskan sepanjang malam ini untuk berjaga di sana.
“Limar, Aku pamit. Jangan bosan doakan aku dan teman-teman santri lainnya ya.”
Aku hanya menjawab dengan anggukan pelan, seraya menggumamkan untaian doa untuk keselamatan Ruzhan.
Dini hari, jam 02.35
Suara gaduh di halaman pesantren membuatku terbangun.
“Pak Kyai… Pak Kyai!’
terdengar beberapa orang santri memanggil ayahku.
“Pak Kyai… Ruzhan… Ruzh..”
Salah seorang santri terdengar terengah-engah, dan berusaha berbicara dengan ayahku. Aku bergegas keluar kamar dan mendekati ruang depan.
“Ta.. tadi terjadi bentrokan… Mereka banyak sekali, tapi kami berhasil membuat mereka mundur. Tapi kami tidak menemukan Ruzhan.”
“Astaghfirullaah…,” hampir saja aku berlari ke depan. Tubuhku tiba-tiba bergetar kencang. Apa yang terjadi dengan Ruzhan…
“Jangan panik. Tenang. Kumpulkan semua santri, kita kembali ke pesisir sekarang,” terdengar Abah menenangkan para santri.
“Ya Alloh, jaga Ruzhan-ku… Jaga ya Alloh… Selamatkan dia…”
Batinku terus memohon untuk keselamatan Ruzhan. Dan tubuhku masih bergetar, hingga sebuah telapak tangan terasa mengusap kepalaku.
“Abah akan ke pantai sekarang bersama semua santri. Sholatlah, Nak. Bantu Ruzhan dengan doamu…”
Aku tak bisa menjawab Abah. Aku hanya bisa memeluknya dengan wajah yang basah.
“Jangan terlalu panik. Tenangkan dirimu dengan sholat, Nak. Jangan lupa, Ruzhan ditempa sejak kecil untuk situasi ini. Dia bukan sekedar santri, Limar. Dia Panglima Santri!”