wartapriangan.com, BERITA OLAHRAGA. Tabir terpuruknya Persib Bandung di Piala Jenderal Sudirman sedikit demi sedikit mulai terkuak. Isu disharmoni di internal klub belakangan mulai terlihat nyata dan disebut-sebut jadi faktor buruknya performa Maung Bandung.
PT Persib Bandung Bermartabat (PBB) selaku perusahaan yang mengelola Maung Bandung dituding tak memberikan pelayanan cukup baik kepada tim. Sistem yang mereka terapkan dinilai cenderung membelenggu dan membatasi ruang gerak atau kebebasan para pemain.
Hal itulah yang memicu beberapa pemain Persib akhirnya menolak klausul kontrak jangka pendek yang disodorkan PT PBB. Bukan karena masalah nilai uang kontrak yang ditawarkan, lebih ke soal aturan main yang dituangkan dalam pasal-pasal di dalam klasusul kontrak.
Firman Utina akhirnya berani mengungkap ‘borok’ PT PBB selama ini. Rupanya ada larangan kepada pemain untuk tidak bicara kepada media atau mengungkapkannya di media sosial, jika bermasalah dengan manajemen.
“Sekarang kalau tidak dibayar (digaji) harus bicara ke mana? Kalau bicara ke media, mereka bakal kena penalti 100 persen. Kalau pemain gak dibayar mereka tentu hanya bisa diam. Jadi posisi pemain ketika tidak dibayar, mau ngomong salah, tidakngomong salah,” bebernya.
Contoh lainnya adalah transparansi, khususnya terkait masalah keuangan seperti bonus, termasuk bonus juara Piala Presiden 2015 lalu yang akhirnya menimbulkan polemik karena pembagiannya tak sesuai harapan.
“Seharusnya hal-hal semacam itu (yang berkaitan dengan keuangan), tidak harus ditutup-tutupi dan dibuka ke publik. Apalagi ini kan eranya sepak bola profesional,” ucap Firman.
Firman sendiri merupakan salah satu dari empat pemain Persib yang tak menandatangani kontrak ketika bertanding di Piala Jenderal Sudirman. Permintaannya agar manajemen melakukan revisi pasal-pasal di klausul kontrak tak kunjung diperolehnya hingga dia akhirnya benar-benar tak menandatangani kontrak.
Padahal menurut Firman jika saja klausul kontrak mau disederhanakan, hal itu tak akan menjadi masalah buat beberapa pemain. Apalagi kontraknya hanya jangka pendek.
“Tapi ini seolah-olah manajemen tak percaya sama pemain dan kita ini seolah-olah menjalin kontrak empat tahun,” ungkap dia.
Hal lain yang membuatnya merasa keberatan adalah poin yang mewajibkan pemain untuk mendukung program kerja sama yang sifatnya komersial antara pihak sponsor dengan manajemen perusahaan atau klub.
Selain tak ada pasal yang mengatur soal kompensasi yang didapat pemain yang terlibat dengan kegiatan kerja sama sponsorship. Pemain pun tak diberikan kebebasan untuk melakukan kerja sama sponsor yang sifatnya pribadi.
Hal itu menurut Firman menunjukkan jika sikap saling menghargai khususnya antara tim dan manajemen klub di Persib sepertinya sulit tumbuh dengan baik.
“Kita diharuskan untuk menjalani sesi foto produk yang bekerjasama dengan Persib, tapi di situ tidak ada aturan yang menjelaskan soal kompensasi (buat pemain),” tuturnya mencontohkan.
Kemudian Firman membeberkan jika ‘keringat’ dan pengorbanan seorang pemain oleh manajemen tidak dihargai. Mereka harus menjalani berbagai aktivitas komersial klub tanpa mendapatkan kompensasi.
“Bayangkan saya harus pergi dari Tangerang datang ke sini (Bandung) untuk pemotretan, terus cuma say hello dan terima kasih. Apa yang didapat istri di rumah? Sedangkan tahunya suami keluar mencari nafkah,” tutur dia.
Dia menegaskan apa yang diungkapkannya sebenarnya bukan semata-mata masalah uang, tapi lebih ke sikap saling menghargai. Jika ukurannya loyalitas menurut Firman apa yang ditunjukkan dan diberikan skuad Maung Bandung di Piala Presiden 2015 adalah salah satu bukti tingginya komitmen seluruh anggota skuad tim.
“Kalau orang lain berpikir soal loyalitas. Di Piala Presiden kita tidak dibayar dan tidak digaji. Kita tidak melihat nilai, tapi lebih melihat hati, saling menghargai antara pemain dan manajemen,” ujar Firman.
Sumber: viva.co.id