wartapriangan.com, BERITA PANGANDARAN. Gunung Parang yang berlokasi di Dusun/Desa Jayasari, Kecamatan Langkaplancar, Kabupaten Pangandaran merupakan salah satu tempat yang memiliki sejarah pertempuran memperebutkan pusaka milik Prabu Ajisaka.
Prabu Ajisaka merupakan salah satu Raja yang menggantikan Prabu Dewata Cengkrang di Kerajaan Galuh Medangkamulyan setelah tenggelam ke lautan lantaran memutarkan ikat kepala milik Prabu Ajisaka.
Warta Priangan mencoba mengungkap kisah tersebut, dengan menemui salah satu Budayawan asal Kabupaten Pangandaran Didin Jentreng.
Didin mengatakan, berdasarkan beberapa literatur, Prabu Dewata Cengkrang saat memimpin Kerajaan Galuh Medangkamulyan memiliki prilaku yang aneh karena selalu menginginkan masakan yang ada daging manusianya.
“Saat juru masak Kerajaan mengiris bahan masakan untuk hidangan Prabu Dewata Cengkrang salah satu jarinya teriris hingga putus, jari itu masuk kedalam masakan yang akhirnya disantap oleh Prabu Dewata Cengkrang,” kata Didin.
Saat menikmati hidangan, Prabu Dewata Cengkrang merasakan kenikmatan masakan yang disajikan dan akhirnya bertanya tentang masakan itu. Juru masak di Kerajaan pun menjawab bahwa hidangan yang dimakan oleh Prabu Dewata Cengkrang ada jari dirinya yang teriris hingga jatuh pada masakan.
“Sejak kejadian itu Prabu Dewata Cengkrang akhirnya selalu meminta masakan yang ada daging manusianya,” tambah Didin.
Kondisi tersebut sangat meresahkan rakyat yang masuk pada wilayah kekuasaan Galuh Medangkamulyan karena setiap kali juru masak Kerajaan membuat hidangan untuk Prabu Dewata Cengkrang harus ada tumbal manusia.
“Saat keresahan melanda warga Kerajaan, akhirnya datang salah satu pria berparas tampan bernama Ajisaka. Ajisaka memiliki pengawal setia bernama Sembada dan Dora. Konon Ajisaka mengutus Sembada untuk membuka sebuah perkampungan dan diamanatkan sebuah pusaka. Saat penyerahan pusaka tersebut Ajisaka berkata kepada Sembada untuk menjaga pusaka tersebut dan tidak boleh jatuh ketangan siapa pun.
“Singkat ceritra, saat Ajisaka menghadap ke Prabu Dewata Cengkrang berkata bahwa dirinya siap untuk menjadi tumbal dan dagingnya rela untuk dimakan oleh Prabu Dewata Cengkrang,” jelas Didin.
Namun Ajisaka waktu itu meminta syarat kepada Prabu Dewata Cengkrang untuk mengganti nyawanya dengan tanah seluas ikat kepala yang dikenakannya waktu itu. Saat itu pula Ajisaka mempersilahkan Prabu Dewata Cengkrang menarik ujung ikat kepalanya.
“Saat Prabu Dewata Cengkrang menarik ikat kepala Ajisaka, terjadi kejadian diluar logika, ujung ikat kepala yang ditarik mendadak panjang dan akhirnya Prabu Dewata Cengkrang pun secara tidak sadar sudah berada ditepi laut Karapyak,” papar Didin.
Saat Prabu Dewata Cengkrang sudah berada ditepi laut, Ajisaka langsung memecutkan ikat kepala yang dikenakannya sehingga Prabu Dewata Cengkrang terjatuh kedalam laut dan hanyut.
“Sejak itu Ajisaka diangkat menjadi Raja di Kerajaan Galuh Medangkamulyan dan kondisi Kerajaan sangat tenang, aman, tentram dan nyaman,” pungkas Didin.
Sementara Gendo salah satu warga Kecamatan Langkaplancar mengatakan, setelah Ajisaka menjadi Raja secara tiba-tiba ingat kepada Sembada yang pernah diamanatkan sebuah pusaka.
“Prabu Ajisaka akhirnya mengutus Dora untuk mengambil pusaka yang pernah dititipkan ke Sembada tersebut,” kata Gendo.
Singkat ceritra terjadi pertemuan antara Sembada dan Dora. Sembada berkata kepada Dora bahwa kedatangannya membawa amanah untuk mengambil pusaka yang pernah dititipkan kepada Dora.
“Saat itu Dora memegang teguh amanat Ajisaka untuk tidak memberikan pusaka kepada siapa pun, sementara Sembada juga bersikukuh tidak akan kembali ke Kerajaan Galuh Medangkamulyan sebelum pusaka itu berhasil dibawa,” tambahnya.
Karena perselisihan paham tersebut akhirnya Sembada bertarung dengan Dora. Dari pertarungan tersebut semuanya sama-sama kuat hingga akhirnya Sembada dan Dora meninggal bersama-sama.
“Berdasarkan keterangan, pertarungan Sembada dan Dora berakhir di gunung Parang hingga akhirnya ditempat itu juga ke dua nya dimakamkan,” pungkasnya. (Iwan Mulyadi/WP)