wartapriangan.com, PRESS RELEASE. Kebijakan pemerintah menaikkan cukai rokok sebesar 10,4 persen pada tahun depan diyakini akan mengerek peredaran rokok ilegal.
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Ismanu Soemiran mengungkapkan, dorongan kenaikan cukai selama ini didengungkan Gerakan Anti Tembakau (GAT) dengan berbagai cara agar Harga Jual Eceran (HJE) rokok semahal-mahalnya.
Sebagaimana pernah dilakukan GAT kepada pemerintah dengan upaya mencoba mempengaruhi publik dengan menyebar hoax di medsos bahwa harga rokok akan naik menjadi Rp. 50.000 per bungkus. Angka Rp. 50.000 seperti pernah disuarakan, dinilai sebagai usul yang ngawur.
“Bila benar itu GAT yang mengusulkan, itu adalah usulan yang ngawur. Hal tersebut membuktikan penggerak anti tembakau buta terhadap karakteristik pasar rokok,” tegas Ismanu, dalam siaran pers, Kamis (26/10).
Oleh karena peraturan harga rokok dikerek semakin mahal sampai melebihi pertumbuhan ekonomi dan inflasi, maka yang akan terjadi menjauhkan Biaya Pokok Produksi (BPP sebelum pajak+cukai) dengan HJE.
Kata Ismanu, disparitas BPP dengan HJE melebar membuat peredaran rokok ilegal semakin besar sebab tanpa pajak dan cukai jual rokok untungnya besar sekali.
Di Indonesia pangsa pasar didominasi jenis Kretek, mengandung campuran cengkeh. Cara membuat kretek itu sangat sederhana, karena penemu kretek orang Indonesia. Syaratnya ada alat linting ada tembakau ditambah cengkih jadilah 1 batang kretek.
Indonesia negara kepulauan dengan ratusan ribu sungainya. Peluang melalui perairan kesempatan menyelundupkan rokok ilegal terbuka lebar.
“Jangan lupa, penyebaran pasar rokok tergantung pengecer. Pengecer maunya untung banyak. Bila harga rokok legal semakin mahal, pengecer untungnya kurang, pengecer akan pilih dan cari rokok ilegal. Demikian pula konsumennya,” ujar Ismanu, mengingatkan.
Luasan negara kepulauan, dibandingkan potensi Bea Cukai dengan SDM yang terbatas, lalu mengandalkan aparat lain setempat, sulit melakukan operasi terhadap peredaran rokok ilegal.
Di pelosok desa hubungan sosial kegotongroyongan antara warung-warung pengecer dengan lingkungannya atau konsumennya telah terjalin hubungan simbiosismutualis, maka bila ada operasi ilegal akan saling melindungi. Demikian terus menerus.
“Jangan mendesak pemerintah menaikkan HJE rokok melebihi inflasi. Yang akan terjadi adalah kontra produktif. Bila ilegal semakin diberi ruang, dibiarkan tidak diberi lawan yang bisa head to head, yakni kepada Industri golongan kecil beri kepada mereka leyer/ruang terbatas pada pasar golongan paling bawah, dengan tarif murah, untuk menangkal ilegal,” tegas Ismanu.
Ia menegeaskan, walau dengan hasil cukainya kecil atau sedikit itu lebih baik dari pada ilegal menguasai pasar, tapi pajak plus cukainya tidak didapatkan.
“Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan meliputi Badan Kebijakan Fiskal dan Bea Cukai, diharapkan tidak dengarkan suara GAT, yang sudah emosi apriori kepada Industri Hasil Tembakau atas dalih kesehatan, lalu petani tembakau dipaksa nengganti tanaman yang lain, kemudian minta harga rokok dinaikkan yang tinggi,” tandasnya.
Oleh karena itu, diharapkan pemerintah tidak mudah dikecohkan pandangan dan orientasi pemikirannya, bahwa sesungguhnya pemerintah tahu bahwa ini perang politik dagang.
Ada sesuatu dibalik kepentingan menghilangkan tembakau Indonesia yakni kepentingan prokok sintesis yang dibuat kalangan farmasi dan rokok elektrik (RE).
Ketika pasar asap rokok di Indonesia yang nilainya +/- 400 Triliun rupiah ini bisa direbut, dengan mengganti rokok asli dengan kena cukai tembakau dengan rokok elektrik tanpa cukai tembakau walau mahal dan biayanya besar jutaan dollar antara lain untuk membiayai Gerakan Anti Tembakau.
Tembakau dimaksud adalah tembakau asli bukan tembakau sintetis yg mengandung nikotin sintetis mengapa tidak kena cukai. Rokok elektrik tanpa cukai, berati total omsetnya masuk kantong yang sudah mematenkan RE.
“Yang mampu nembuat nikotin sintetis hanyalah industri farmasi multinasional. Merekalah yang turut gencar mengkampanyekan gerakab anti tembakau berdalih kesehatan. Tapi kami yakin masyarakat Indonesia semakin cerdas, sulit untuk dibohongi,” tegas Ismanu.