wartapriangan.com, PRESS RELEASE. Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) merasa geram dengan arah pembangunan ekonomi-politik Indonesia yang semakin liberal serta jauh dari semangat kerakyatan dan gotong royong sebagaimana cita dasar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Bahkan, neoliberalisme menjadi pedoman pelaksanaan kebijakan negara, membuat nasib mayoritas rakyat kian terpuruk.
“Berbagai pelaksanaan percepatan pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan, bandara, pembangkit listrik dll direncanakan dengan sengaja, semuanya berorientasi hanya untuk mendukung mobilitas ekspor dan impor kapital oligarki rezim neoliberalisme saat ini,” ujar Sekjen ProDEM Satyo Purwanto melalui pesan elektronik kepada media, Minggu (31/12/2017)
Dalam catatan akhir tahun ProDEM, modus skema program Kerja Sama Pembiayaan Swasta (KPS/KPBU) dengan bentuk kerja sama utang negara maupun swasta asing atau lokal secara langsung, diluncurkan dengan mengatasnamakan kebutuhan rakyat dan dibangun atas dasar skema liberalisasi aset publik yang disembunyikan dalam skema yang mengabaikan pelayanan publik.
Semakin banyak uang rakyat dicuri dengan keharusan membayar lebih mahal ketika berpergian menggunakan jalan tol, ketika membayar listrik, membeli BBM dan gas, serta berbagai kebutuhan lainnya.
Gagasan neoliberalisme tentang kedaulatan, kesejahteraan dan kemajuan adalah omong kosong, menghipnotis pikiran rakyat tentang ekonomi, sosial dan politik, memanipulasi hukum dan peraturan, mendistorsi pendidikan, meracuni kesehatan dan sebagainya.
“Sepertinya seolah-olah semua dibiarkan bebas mengikuti mekanisme pasar, padahal ada tangan-tangan tak terlihat yang mengatur dan mendikte rezim ini. Dampaknya terjadi privatisasi usaha-usaha industri yang dikelola pemerintah dan lembaga-lembaga layanan publik. Dalihnya untuk menghindari korupsi, menciptakan iklim kompetisi yang sehat dan efisiensi, mendatangkan investasi, guna membangun infrastruktur,” kecam aktivis 98 yang akrab disapa Komeng tersebut.
Dia menerangkan, bau neoliberalisme sangat kuat, beberapa buktinya seperti, masifnya privatisasi berbagai aset penting bangsa, kebijakan aksi korporasi jual BUMN/ BUMD ke swasta, serta pertambahan hutang negara dalam 3 tahun terakhir oleh rezim jalan tol.
Liberalisasi pasar, tutur Satyo lebih lanjut, sudah kelewat batas dan keterlaluan, hingga mengabaikan konstitusi dasar dan berbagai peraturan perundangan yang mengamanatkan bahwa cabang-cabang ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Semua sektor kehidupan dijadikan sebagai komoditas dan sumber keuntungan, tidak terkecuali mencuri dari kantong rakyat lewat berbagai macam skenario pajak dan pungutan lainnya.
Akhirnya logika pasar lah yang berdaulat di atas kehidupan rakyat, terlebih rakyat pribumi. Negara memberikan pelayanan prioritas untuk obligor penghutang pajak rakyat, tapi menggunakan prinsip untung-rugi ekonomi ke masyarakat luas.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi barang langka yang sangat mahal harganya. Rakyat selalu menjadi obyek yang teraniaya, kepentingan rakyat selalu menjadi korban
ProDEM mengingatkan kepada rezim Jokowi-JK, sesuai pengalaman ketika negara ini mengalami krisis di masa lalu, maka marjinalisasi kepentingan rakyat akan kian ekstrem terjadi. Contohnya kasus BLBI, Century dan seluruh hutang yang diproduksi oleh penguasa, akhirnya menjadi beban untuk seluruh rakyat, tidak terkecuali yang miskin.
“Makna krisis kerap terdistorsi hanya cuma soal kegagalan pasar keuangan, sedangkan kegagalan pelayanan publik tidak dianggap sebagai krisis oleh pemerintah, yang harus secara serius dan cepat ditangani. Padahal dampaknya lebih besar dan sistematis ketimbang krisis pasar finansial. Waspadalah. Jokowi, stop ilusi developmentalisme!” seru Satyo Purwanto.